Beranda Agama Kisah Teladan Rasulullah terhadap Orang-Orang Kafir

Kisah Teladan Rasulullah terhadap Orang-Orang Kafir

Wasiat sedekah Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib
Rasulullah Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah teladan akhlak mulia.
Rasulullah Muhammad SAW

Keprisatu.com – Nabi Muhammad SAW adalah teladan akhlak mulia. Hal itu terlihat ketika Rasulullah tetap mendoakan orang yang memusuhinya, menghormati jenazah orang Yahudi, bahkan hendak mensalatkan jenazah orang munafik sebelum Alquran turun menjelaskan larangannya.

Kasih sayang itu juga terlihat ketika beliau berhijrah dengan berjalan kaki menuju Thaif. Di kota itu, Rasul tinggal bersama Zaid bin Harisah selama 10 hari. Di sanalah muncul optimisme masyarakat setempat akan menerima dakwah Islam.

Nabi bertatap muka dengan pembesar Bani Tsaqif: Abdi Talel, Khubaib dan Mas’ud. Kepada mereka kekasih Allah ini mengenalkan tauhid.

Begitu tragis, utusan Allah ini justru menjadi target pelecehan, penghinaan, umpatan, mereka meluapkannya dengan kata-kata kotor. Rasul terkena lemparan batu hingga terluka.

Dalam kondisi terserang, Zaid melindungi Rasul hingga mengakibatkan kepalanya terluka. Keduanya melarikan diri ke kebuh milik Utbah bin Ra bi’ah.

Di sana mereka beristirahat dan mengobati luka. Ketika itu Rasulullah bermunajat kepada Allah SWT agar dirinya mendapat kekuatan menghadapi cobaan yang begitu berat.

Allah SWT menjawab doa sang nabi. Malaikat Jibril dan penjaga gunung mendatanginya. Jibril bertutur kepada sang Nabi,” Apakah engkau mau aku timpakan dua gunung kepada mereka (masyarakat Thaif)? Kalau itu kau inginkan, maka akan aku lakukan.” Namun, Rasulullah tidak menghendakinya. Bahkan dia mengharapkan Allah akan menciptakan generasi bertakwa yang lahir dari tulang rusuk masyarakat di sana. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan kisah teladan tersebut dalam haditsnya.

Kisah Gegabah Usama

Teladan itu juga Nabi perlihatkan saat mendapati sikap gegabah putra Zaid bin Harisah, yaitu Usama. Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim.

Usama ibn Zaid ibn Harisah yang terkenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya. Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat.

Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut, sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu. Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.

Kemudian Nabi memanggil Usamah dan bertanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat? Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang seewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.

Tidak Memvonis Keyakinan dan Kepercayaan Orang Lain 

Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang). (KH Nasaruddin Umar, Khutbah-khutbah Imam Besar, 2018)

Jawaban tersebut menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain apalagi dengan mengafirkannya. Saling mengafirkan inilah yang menjadi fenomena umat Islam di zaman kini.

Bahkan fenomena yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu tidak hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga ditujukan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan, dan lain-lain.

Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Hal ini bukan berarti ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya.

Umat Islam tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya. Soal ada pelanggaran lain, biarkan hukum formal yang akan menyelesaikannya.

Atas langkah yang diambilnya itu, Usamah pun langsung memohon maaf kepada Rasulullah dan berjanji akan berhati-hati jika menemui peristiwa serupa di kemudian hari. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka yang turut menjadi korban adalah keluarga dekat orang tersebut. (ks04)

sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/127716/teladan-rasulullah-terhadap-orang-orang-kafir