Beranda Batam Taba Angkat Bicara Soal Gonjang-ganjing Ex Officio BP Batam

Taba Angkat Bicara Soal Gonjang-ganjing Ex Officio BP Batam

71
0
Taba Ikandar angkat bicara soal gonjang-ganjing ex officio BP Batam.on
H. Taba Iskandar, SH, MH, MSi
Taba Ikandar angkat bicara soal gonjang-ganjing ex officio BP Batam.on
H. Taba Iskandar, SH, MH, MSi

Keprisatu.com – Anggota Tim Teknis Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), H. Taba Iskandar, SH, MH, MSi mengemukakan kebijakan penerapan Wali Kota sebagai Ex Officio Kepala BP Batam, merupakan solusi jangka pendek dan parsial untuk mengatasi terjadinya dualisme dan benturan kepentingan kelembagaan di Batam. Artinya, persoalan menyangkut hubungan kerja antara Pemko Batam dan BP Batam masih memerlukan regulasi penyelesaian secara komprehensif.

Hal itu Taba kemukakan menyikapi adanya gonjang-ganjing jabatan Wali Kota Batam ex officio Kepala Batam yang sedang ramai di masyarakat. Taba yang juga mantan Ketua DPRD Batam pertama ini, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera turun tangan sendiri menuntaskan masalah Batam, karena begitu ruwet dan complicated-nya masalah di Batam.

“Masalah yang ada di Batam ini, sudah terjadi sejak lama dan seolah tidak pernah terselesaikan secara tuntas oleh pemerintah pusat,” ujar Taba.

Menurutnya, paling tidak persoalan Batam ini bisa dirunut dari sejak lahirnya UU Nomor 53 Tahun 1999, Undang-undang yang mengatur tentang berdirinya Batam sebagai sebuah daerah otonom. Karena sebelumnya hanya berstatus sebagai kota administratif di wilayah Provinsi Riau.

Taba merinci, pada pasal 21 UU 53/1999 tersebut diatur bahwa :
(1) Pemko Batam dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunannya “mengikut” sertakan OB.
(2) “Hubungan Kerja” antara Pemko-OB, diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP)
(3)  PP yang mengatur hubungan kerja pemko-OB diterbitkan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU 53/1999.

“Namun, faktanya sampai dengan saat ini, PP yang diamanatkan UU 53/99 tersebut tidak pernah diterbitkan pemerintah pusat,” tegas Taba. Bahkan yang terjadi adalah OB (Otorita Batam) yang dahulunya hanya sebagai instansi/organ/otorita/pengembangan Pulau Batam, berubah melalui PP 62/ bermetamorfosis menjadi BLU(badan layanan umum) di bawah kementerian keuangan.

Menjadi lebih ruwetnya lagi, OB yang sudah menjadi BLU tersebut, ternyata menerima mandat dan kewenangan sebagai pelaksana Free Trade Zone di wilayah Pulau Batam dan sekitarnya.  “Di mana dengan pemberlakuan Batam sebagai wilayah FTZ, maka Batam berstatus sebagai daerah di luar pabean Indonesia, dan berhak atas PPN dan PPn BM,” imbuh Taba lagi.

Lebih parahnya lagi FTZ yang penerapannya di beberapa negara lain, hanya bersifat enclave, tapi di Batam diberlakukan menyeluruh seluruh Pulau Batam dan sekitarnya.

FTZ sebagai insentif yang didesain sebagai triger dan kemudahan untuk masuk sebanyak-banyaknya investasi asing/ PMA di kawasan industri, sehingga terbuka luas lapangan kerja bagi warga negara Indonesia. Pemko serta pelaku ekonomi lokal/domestik mendapatkan multiplier effect dari aktivitas di kawasan-kawasan industri yang ada.

Akan tetapi, kata Taba  apa yang terjadi sedanga pemberlakuan FTZ menyeluruh di Batam, malah membuat tidak berkembangnya UMKM dan produksi lokal di batam.

Sekarang yang membuat kalangan pengusaha kecil dan menengah/UMKM dan masyarakat luas terjaga dari tidur panjangnya, karena ternyata mengirim baju bekas pakai sendiri saja ke kampung halaman (wilayah RI) ternyata harus membayar pajak yang besar/lebih mahal, daripada harga baju bekas pakai sendiri tersebut (ini konsekwensi status FTZ menyeluruh).

“Jadi kalau mau dipaparkan semua persoalan Batam hanya dalam 1 tulisan saja, saya kira tidak cukup,”  ucap Taba yang juga Sekjen Pertama Adeksi (Asosiasi DPRD Kota se Indonesia) ini.

Terkait solusi, Taba mengajak semua pihak bicara solusi dan kepentingan masa depan Batam dan Provinsi Kepri. Apalagi melihat kepada letak strategis dan potensi yang dimiliki Batam dan Provinsi Kepri, saat ini berada di lintas selat tersibuk di dunia (Selat Melaka) dan berbatasan dengan negara maju Singapura, Malasyia, dan Thailand. Selain itu Batam dan Kepri didukung kondisi wilayah/geografis 96 persen lautan. Hal ini menjadikan Batam/Provinsi Kepri sebagai provinsi khusus di bidang ekonomi.

Dengan pertimbangan bahwa yang dihadapi Kepri bukanlah kabupaten/kota di dalam negeri, tapi negara-negara maju. Dalam situasi ekonomi global saat ini, yang berubah begitu cepat, kata Taba, tentulah tidak seimbang kemampuan sebuah provinsi yang mempunyai keterbatasan kewenangan perizinan berhadapan dengan negara-negara yang sudah maju. Maka otonomi khusus (Otsus) di bidang ekonomilah sebagai solusinya.

Namun demikian, imbuh Taba yang juga Ketua KNPI Batam di awal reformasi ini, menjadikan Kepri sebagai provinsi dengan status otonomi khusus memerlukan persiapan dan tahapan yang terencana dan terjadwal dengan matang.

Untuk solusi jangka pendek dan realistis saat ini yang bisa dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Jokowi adalah:

1. Segera menerbitkan Perpres tentang penyelesaian benturan kepentingan antara BP Batam-Pemko Batam terutama masalah pertanahan/lahan di Kota Batam, karena status FTZ Batam yang menyeluruh sangat berbeda dengan status FTZ Bintan, Karimun yang enclave.
2. Menerbitkan Keppres pembentukan Dewan kawasan FTZ BBK (Batam, Bintan, Karimun)
3. Menerbitkan PP pengintegrasian FTZ BBK
4. Menerbitkan PP Pembentukan BP Kawasan FTZ BBK..

Dengan demikian amanat UU Cipta kerja dan lanjutan PP 41/2021. Dapat segera direalisasikan. Karena semakin molor penerbitan regulasi tersebut di atas, maka akan semakin lambat juga recovery ekonomi di wilayah Kepri dan Indonesia secara umum.

Taba menyarankan, sambil menunggu terbitnya beberapa regulasi di atas; dan sebagai solusi polemik tentaf ex officio yang muncul belakangan ini, seharusnya Dewan Kawasan (KPBPB) Batam dalam kesempatan pertama segera menerbitkan :

1. Dokomen rincian benturan kepentingan Pemko Batam-BP Batam, amanat PP 62/2019.

2. SOP (standart operasional prosedur) pelaksanaan tugas Wako Batam sebagai ex officio Kepala BP Batam .

“Sehingga jelas dan transparan dan bisa diukur pelaksanaan tugas ex officio,”  tutup Taba. (ks03)