Keprisatu.com – Sederet raksasa Minyak dan Gas (Migas) Global ramai-ramai menyatakan kenginannya untuk ‘cabut’ dari Indonesia. Keinginan tersebut disampaikan dalam beberapa tahun terakhir. Pengamat Energi dari Energy Watch Mamit Setiawan menyebut hengkangnya berbagai perusahaan migas dunia disebabkan oleh empat alasan utama.
Pertama, iklim berinvestasi RI yang kurang menarik jika dibandingkan dengan negara sekawasan, seperti Malaysia, Thailand, hingga Vietnam.
Kedua, minimnya kepastian hukum.
“Revisi UU Migas sampai saat ini masih belum selesai, karena ini industri high cost high return maka butuh kepastian hukum. Apa lagi mereka khawatir tiba-tiba kebijakan berubah,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/3).
Ketiga, kondisi lapangan migas di Indonesia yang sudah mulai mature atau tua dan masuk fase natural decline di mana hasil eksplorasi tak lagi maksimal. Ia menambahkan ekplorasi migas di RI juga bergeser ke wilayah Indonesia bagian timur atau daerah laut yang membutuhkan biaya cukup besar dan ini menurunkan tingkat atraktif eksplorasi migas di Indonesia.
Keempat, kebijakan fiskal yang belum menarik. Ia menilai masalah skema pajak bagi hasil masih menjadi kendala yang harus diselesaikan antara KL. Mamit menilai masalah minat eksplorasi migas tak hanya jadi beban Kementerian ESDM, tapi juga Kementerian Keuangan hingga Kementerian Investasi.
Lantas, proyek dan perusahaan mana saja yang ingin hengkang dari RI?
1. ConocoPhillips Hengkang dari RI
Perusahaan asal AS yang bergerak di sektor eksplorasi dan produksi migas tersebut hengkang dari RI dengan menjual ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd dengan nilai transaksi US$3,5 miliar atau setara Rp19,36 triliun (kurs Rp14.343 per dolar) kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Melansir keterbukaan informasi yang dirilis perusahaan, rencana transaksi dilakukan oleh Medco Energi Global Pte. Ltd (MEG) yang merupakan anak perusahaan terkendali perseroan.
Rencana transaksi tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian jual beli bersyarat (conditional sale and purchase agreement), antara Phillips International Investments Inc. selaku penjual dengan MEG selaku pembeli, tertanggal 8 Desember 2021.
Medco menjelaskan akuisisi merupakan bagian dari strategi usaha perseroan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan terus berfokus pada integrasi yang efektif. “Produksi perseroan akan menjadi 78 persen gas setelah akuisisi dengan portfolio gas harga tetap yang lebih besar,” tulis keterbukaan informasi tersebut seperti dikutip, Kamis (20/1).
2. Shell Cabut dari Blok Masela
Shell memutuskan untuk hengkang dari Blok Masela usai mengkaji tingkat keekonomian seluruh portofolio bisnisnya di berbagai negara. Padahal, menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soetjipto, Shell beberapa kali membantah rumor soal divestasi mereka di proyek Masela.
“Kami langsung mendapat arahan dari pemerintah untuk kirim surat. Dua kali atau tiga kali kami telah mengirim surat ke Shell, menyampaikan bahwa pemerintah merasa kecewa dengan langkah yang diambil oleh Shell,” ujar Dwi di komisi VII DPR, pada Agustus 2020 lalu.
Kendati kecewa, pemerintah telah menyetujui langkah divestasi tersebut dan mengizinkan Shell membuka data proyek Masela kepada calon perusahaan yang akan mengambil porsi saham partisipasi mereka. Di samping itu, Shell juga telah menyampaikan perusahaan mana saja yang berpotensi masuk menggantikan mereka di proyek tersebut.
“Izin BKPM sudah tandatangani, open data. Shell juga sudah menyampaikan kepada kami tentang siapa-siapa yang potensial lalu mereka semua akan diundang,” tutur Dwi.
3. Chevron Lepas IDD
PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron) melepas pengelolaan proyek gas laut Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur ke raksasa asal Italia, ENI, pada tahun lalu. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif.
“IDD, kini masih ada negosiasi antara Chevron dengan ENI,” paparnya pada Januari tahun lalu seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Menurutnya, ENI menunjukkan niat yang serius untuk mengambil alih proyek IDD ini dari Chevron. Pasalnya, diperkirakan ada sekitar 800 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas yang akan diproduksi di sana dan ini juga akan mendukung produksi gas alam cair (LNG) di kilang LNG Bontang ke depannya. Dia pun berharap agar negosiasi kedua belah pihak bisa segera rampung pada kuartal I 2021 ini.
“ENI menunjukkan minat yang serius. Ada 800 MMSCFD gas yang akan diproduksi dan bisa untuk mendukung produksi LNG di Bontang. Kami harapkan negosiasi ini selesai di kuartal I 2021,” ungkapnya.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi belum mendapatkan respons dari pemerintah dan kementerian terkait.
Sumber : cnnindonesia.com