Beranda Head Line Perang di Ukraina: Jurnalis Rusia Malu Bekerja untuk ‘Propaganda Kremlin’, ‘Hentikan...

Perang di Ukraina: Jurnalis Rusia Malu Bekerja untuk ‘Propaganda Kremlin’, ‘Hentikan perang’

99
0
Marina Ovsyannikova mengatakan banyak yang mengira aksi yang dia lakukan karena konflik di tempat kerja atau karena diminta negara-negara Barat. (BBC Indonesia)
Marina Ovsyannikova mengatakan banyak yang mengira aksi yang dia lakukan karena konflik di tempat kerja atau karena diminta negara-negara Barat. (BBC Indonesia)

Keprisatu.com –Seorang jurnalis Rusia, yang sempat muncul secara tiba-tiba dan memprotes perang Ukraina saat siaran langsung program berita TV, mengatakan orang-orang Rusia sudah “dihipnosis” oleh propaganda pemerintah.

Marina Ovsyannikova berbicara langsung kepada BBC. Dia mengatakan orang Rusia harus berhenti mendengarkan liputan media pemerintah.

“Saya mengerti, sulit untuk menemukan informasi alternatif, tetapi Anda perlu mencoba mencarinya,” katanya.

Ovsyannikova adalah seorang editor di Channel 1, saluran televisi yang dikendalikan pemerintah. Dia ditahan setelah melakukan aksinya pada Senin (13/3).

Dia berlari ke lokasi salah satu program berita Rusia yang paling banyak ditonton, Vremya, memegang papan bertuliskan: “Tidak boleh ada perang, hentikan perang, jangan percaya propaganda, mereka di sini berbohong kepada Anda.”

Dia juga terdengar mengulangi kata-kata “tidak boleh ada perang, hentikan perang”.

“Saya sadar jika saya pergi untuk berdemo di pusat kota [Moskow], saya akan ditangkap seperti orang lain dan dilempar ke dalam mobil polisi, lalu diadili,” kata Ovsyannikova pada Kamis (17/3).

“Setengah poster berbahasa Rusia, setengah poster lagi berbahasa Inggris. Saya benar-benar ingin menunjukkan kepada penonton Barat bahwa orang-orang Rusia pun menentang perang,” katanya.

“Saya merasa punya tanggung jawab. Saya pernah menjadi roda penggerak dalam mesin propaganda. Sampai saat terakhir, saya tidak terlalu memikirkannya,” katanya.

Ovsyannikova juga menanggapi berbagai tuduhan media Rusia tentang motivasinya melakukan aksi tersebut. “Ada banyak teori konspirasi yang dibangun terhadap saya,” katanya.

“Itulah mengapa saya harus menjelaskan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi, fakta bahwa saya hanya seorang perempuan Rusia yang biasa, tetapi saya tidak bisa tetap diam.”

Rusia menyerang Ukraina:

Sebelum melakukan aksinya, Ovysyannikova merekam sebuah video dan mengatakan dia malu bekerja untuk “propaganda Kremlin”.

Dia mengaku ditahan dan diinterogasi oleh polisi selama 14 jam dan didenda 30.000 rubel (senilai Rp4 juta) karena video tersebut. Pihak berwenang yakin Ovysyannikova bertindak atas nama orang lain, katanya.

“Tidak ada yang percaya itu adalah keputusan pribadi saya. Mereka menduga aksi saya itu disebabkan konflik di tempat kerja, kerabat yang marah tentang Ukraina, atau negara-negara Barat secara khusus meminta saya melakukannya.”

“Mereka tidak percaya bahwa saya memiliki begitu banyak keberatan terhadap pemerintah, sehingga saya tidak bisa lagi tinggal diam,” katanya.

Berita televisi pemerintah Rusia telah lama dikendalikan oleh Kremlin dan sudut pandang independen jarang ada di semua saluran utama.

Karyawan organisasi berita yang dikendalikan negara juga tidak biasa mengungkapkan pendapat yang berbeda terhadap posisi resmi Kremlin.

Sejak perang di Ukraina dimulai, sejumlah jurnalis telah mengundurkan diri dari saluran TV top Rusia: Zhanna Agalakova dari Channel 1 serta Lilia Gildeyeva dan Vadim Glusker dari NTV.

Media Rusia yang dikendalikan pemerintah menyebut perang itu sebagai “operasi militer khusus” dan menyatakan Ukraina sebagai pihak yang menyerang dan menggambarkan pemerintah terpilih Ukraina sebagai neo-Nazi”.

Keluar massal dari TV Pemerintah Rusia

Aksi Marina Ovsyannikova yang langsung masuk ke ruang siaran berita malam Senin untuk memprotes perang di Ukraina dan propaganda di seputarnya, telah memicu gelombang pengunduran diri di saluran TV yang dikontrol ketat pemerintah Rusia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengucapkan terima kasih, meminta siapa pun yang bekerja untuk “sistem propaganda Rusia” agar mengundurkan diri. Zelensky memperingatkan setiap jurnalis yang bekerja di “pilar keempat kekuasaan”, berisiko terkena sanksi dari pengadilan internasional karena “membenarkan kejahatan perang”.

Beberapa pendukung Presiden Vladimir Putin di TV yang dikelola pemerintah telah menghadapi sanksi, termasuk Vladimir Solovyov yang menghadirkan acara bincang-bincang di saluran terbesar Rusia Rossiya-1, dan Margarita Simonyan yang menuduh siapa pun yang malu menjadi orang Rusia pada saat ini bukanlah orang Rusia sebenarnya.

Beberapa jam setelah aksi Marina Ovsyannikova, terungkap tiga pengunduran diri.

Seorang jurnalis Channel 1, Zhanna Agalakova, berhenti dari pekerjaannya sebagai koresponden Eropa, sementara dua jurnalis meninggalkan NTV. Mereka adalah Lilia Gildeyeva, yang bekerja untuk NTV sebagai presenter sejak 2006, dan Vadim Glusker, yang bekerja di NTV selama hampir 30 tahun.

Menurut desas-desus yang beredar, para jurnalis di grup TV pemerintah All-Rusia VGTRK juga bersiap keluar.

Jurnalis Roman Super mengatakan orang-orang berhenti dari Vesti secara massal, meskipun kebenaran hal itu belum bisa dikonfirmasi. Namun, pembawa acara TV terkenal Sergey Brilev membantah laporan bahwa dia telah mengundurkan diri. Dia berdalih melakukan perjalanan bisnis selama lebih dari seminggu.

Pengunduran diri Maria Baronova dari RT, sebelumnya dikenal sebagai Russia Today, juga banyak menyita perhatian. Bulan ini, mantan pemimpin redaksi di RT mengatakan kepada wartawan BBC Steve Rosenberg, bahwa Putin telah menghancurkan reputasi dan ekonomi Rusia.

Sejumlah jurnalis RT lainnya juga telah mengundurkan diri, termasuk jurnalis non-Rusia yang bekerja untuk layanan bahasanya.

Mantan koresponden London Shadia Edwards-Dashti mengumumkan pengunduran dirinya, tepat pada hari Rusia menginvasi Ukraina, tanpa memberikan alasan. Jurnalis yang berbasis di Moskow, Jonny Tickle, berhenti pada hari yang sama “karena peristiwa baru-baru ini”.

Presenter RT Prancis Frédéric Tadde mengatakan dia meninggalkan acaranya karena Prancis terlibat “dalam konflik terbuka” dengan Rusia dan dia tidak dapat melanjutkan menjadi pembawa acara programnya Forbidden to Forbid “karena kesetiaan kepada negara”.

Beberapa hari kemudian, Uni Eropa mengatakan pihaknya melarang semua outlet RT dan Sputnik karena “kampanye disinformasi, manipulasi informasi, dan distorsi fakta”. Kantor berita negara Rusia yang berbasis di Jerman, Ruptly, juga mengalami serentetan pengunduran diri, menurut kantor berita Reuters.

Sementara itu, media non-pemerintah Rusia terus-menerus diserang selama bertahun-tahun, sehingga banyak jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kehilangan mata pencaharian di outlet independen, tidak akan terkesan dengan pengunduran diri saat ini. Beberapa di antaranya sudah dilabeli agen asing sejak era Soviet.

Dozhd (TV Rain), yang dipaksa keluar dari TV arus utama pada 2014, harus menghentikan siaran online-nya karena invasi Rusia dan sejumlah jurnalisnya telah meninggalkan negara itu dari demi keselamatan mereka.

Siaran radio Ekho Moskvy juga dihentikan, di tengah kekhawatiran undang-undang baru Rusia tentang informasi palsu. BBC Rusia termasuk di antara sejumlah media Barat yang dilarang, sementara jurnalis yang bekerja untuk Meduza yang berbasis di Latvia dipaksa keluar dari Rusia.

Bukan hanya jurnalis yang menghilang dari TV pemerintah.

Salah satu pembawa acara bincang-bincang terbesar di Rusia, Ivan Urgant, memutuskan beristirahat sejenak dari acara Evening Urgant pada jam tayang utama di saluran terbesar kedua Rusia, Channel 1, stasiun yang sama dengan Marina Ovsyannikova.

Dia bereaksi terhadap perang dengan mengunggah pesan sederhana berlatar hitam di akun Instagramnya: “Ketakutan dan kesakitan. Tidak boleh ada perang.”

Sejak itu dia mengatakan kepada para pengikutnya untuk tidak panik. Dia juga menyatakan sedang berlibur dan akan segera kembali.

Pasangan selebriti nomor satu Rusia Alla Pugacheva dan Maxim Galkin termasuk di antara sejumlah tokoh dunia hiburan lain yang juga pergi berlibur. Galkin mengatakan di Instagram: “Tidak ada pembenaran untuk perang! Tidak boleh ada Perang!” (*)

Sumber : bbc.com/indonesia