Jakarta, Keprisatu.com – Indonesia dan Malaysia menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia. Perjanjian ini merupakan pembaruan dari MoU sebelumnya, yang masa berlakunya habis pada 2016, dengan beberapa “perubahan signifikan.”
Nota kesepahaman itu ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M. Saravanan pada hari ini, Jumat (1/4), di Istana Merdeka Jakarta.
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob ikut menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman tersebut, yang diklaim dapat memperkuat perlindungan bagi para pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya pekerja rumah tangga.
Dalam jumpa pers, Presiden Jokowi mengatakan MoU itu akan mengatur penggunaan one channel system bagi seluruh proses penempatan, pemantauan, dan kepulangan pekerja migran Indonesia.
“Pekerja migran Indonesia telah berkontribusi banyak bagi pembangunan ekonomi di Malaysia. Sudah sewajarnya mereka mendapatkan hak dan perlindungan yang maksimal dari dua negara kita.
Dengan kehadiran PM Sabri hari ini saya yakin MoU ini dapat dilaksanakan dengan baik dan saya tidak ingin MoU ini hanya berhenti di atas kertas saja, semua pihak harus menjalankan MoU ini dengan baik.,” ujar Jokowi.
PM Malaysia: MoU ini ‘momen besar dan penting’
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob mengatakan penandatanganan MoU ini merupakan momen besar dan penting karena ini merupakan komitmen berkelanjutan pemerintah Malaysia dan Indonesia untuk memberikan dampak besar dan berkepanjangan kepada rakyat kedua negara.
“MoU ini akan memastikan segala proses pengambilan dan mekanisme perlindungan PMI akan dilaksanakan secara komprehensif oleh pihak-pihak terkait berdasarkan perundangan di kedua negara, dalam hal ini saluran tunggal bagi PDI ke Malaysia telah disetujui hanya menggunakan sistem saluran tunggal atau one channel system, yang hanya menyaring majikan yang layak menggaji PMI,” kata Ismail.
Selain itu, PM Ismail menyatakan Malaysia juga telah meratifikasi protokol 29 ILO sebagai komitmen Malaysia untuk memberantas isu buruh paksa, termasuk memberi perlindungan untuk pekerja migran Indonesia.
Malaysia juga sudah menyiapkan beberapa fasilitas agar para pekerja bisa menyampaikan aduannya, termasuk soal kekerasan yang dilakukan oleh majikan.
Paling banyak menerima pekerja migran Indonesia
MoU ini disebut merupakan pembaruan dari perjanjian yang masa berlakunya habis pada 2016, dengan beberapa “perubahan signifikan”; salah satunya, pendataan seluruh PMI dalam satu sistem yang terintegrasi dengan pemerintah Malaysia.
“Kita ingin semua pekerja migran Indonesia yang bekerja ke Malaysia terdata di perwakilan RI, sebagai dasar untuk melakukan perlindungan yang optimal bagi PMI selama bekerja,” kata Erga Grenaldi, atase tenaga kerja KBRI di Kuala Lumpur, kepada BBC News Indonesia.
Malaysia adalah negara yang paling banyak menerima tenaga kerja Indonesia.
Menurut data Bank Indonesia, pada kuartal kedua 2020 terdapat 1.701 pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Selama bertahun-tahun, banyak pekerja migran di Malaysia melaporkan penganiayaan oleh majikan dalam berbagai bentuk; mulai dari beban kerja yang berat, tidak digaji, ditempatkan dalam kondisi hidup yang buruk, hingga kekerasan fisik.
Sebuah studi pada 2018 menyimpulkan bahwa hukum di Malaysia belum cukup untuk melindungi para pekerja migran, ditambah penegakan hukum yang buruk. Meskipun ada banyak aturan yang spesifik, kata para peneliti, perlu dibuat aturan khusus yang hanya berfokus pada perspektif pekerja migran.
Apa isi nota kesepahaman terbaru?
Nota Kesepahaman tentang Perekrutan dan Penempatan Pekerja Domestik Indonesia pertama kali ditandatangani Indonesia dan Malaysia pada tahun 2006 dan diperbarui lima tahun kemudian, namun berhenti diperbarui pada 2016 karena kedua pihak tidak mencapai kesepakatan.
Tahun ini, setelah berkali-kali didesak oleh pemerintah Indonesia, Malaysia akhirnya setuju untuk menambah poin-poin perlindungan bagi pekerja domestik Indonesia yang diamanatkan oleh UU no. 18 tahun 2017.
Menurut Erga, persetujuan itu mungkin didorong oleh kebutuhan Malaysia untuk pekerja di sektor-sektor lain, misalnya perkebunan sawit. “Tapi kita dorong agar diselesaikan terlebih dahulu MoU ini sebelum mendapatkan pekerja migran Indonesia ke seluruh sektor ke Malaysia,” ujarnya.
Poin-poin yang ditambahkan Indonesia pada perjanjian sebelumnya antara lain:
- Mendata semua pekerja migran Indonesia (PMI) dalam one channel system yang terintegrasi dengan pemerintah Malaysia. Data mencakup lokasi bekerja, identitas majikan, dan latar belakang majikan
- Menaikkan upah minimum dari 1.200 (Rp4 juta) Ringgit menjadi 1.500 Ringgit (Rp5 juta)
- Melarang majikan menahan paspor atau dokumen pribadi milik pekerja migran, dan mewajibkan pemerintah Malaysia untuk memastikan larangan ini dipatuhi
- Mewajibkan majikan memberikan hak pekerja untuk menggunakan telepon atau berkomunikasi kepada keluarga atau perwakilan RI di Malaysia
- Mensyaratkan endorsement kontrak kerja oleh perwakilan RI di Malaysia untuk pembuatan atau perpanjangan visa kerja
- Proses penempatan pekerja hanya bisa dilakukan oleh agensi yang terdaftar di pemerintah Malaysia dan perwakilan RI
Berdasarkan perjanjian terbaru, pemerintah Malaysia juga berkomitmen tidak akan lagi memungkinkan konversi visa pelancong menjadi visa pekerja, kata Erga. Selama ini, aturan tersebut kerap dimanfaatkan oleh pekerja migran Indonesia.
“Dulu itu mereka pindah ke Malaysia sebagai pelancong, ketemu dengan pemberi kerja dia ajukan visa kerja, lalu diubah jadi visa kerja.
“Itu yang mengakibatkan kita tidak tahu keberadaannya pekerja kita ada di mana. Karena dari awalnya, ketika dia proses pemberangkatannya, tidak melalui P3MI (perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia) sehingga perwakilan tidak mendata,” Erga menjelaskan.
Memberi harapan
Nota kesepahaman baru yang memperkuat perlindungan bagi buruh migran ini memberi harapan bagi beberapa pekerja migran yang sudah merasakan pengalaman pahit di Malaysia.
Salah satu dari mereka adalah Ita Leosae, 29 tahun, dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ita datang ke Malaysia pada 2013, dibawa oleh agen tak resmi. Saat ini ia tinggal di shelter KBRI Kuala Lumpur sambil berjuang untuk mendapatkan gajinya yang tidak dibayar oleh majikan selama lima tahun ia bekerja.
Ita berharap, dengan perjanjian baru ini semua TKI di Malaysia bisa terbantu.
“Jangan sampai ada korban lagi seperti kami-kami yang sudah masuk KBRI, karena banyak sekali korban-korban itu yang enggak digaji bertahun-tahun, bahkan hilang kontak dengan keluarga, enggak tahu kalau orang tuanya sudah meninggal atau masih hidup,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Harapan yang sama disuarakan Derfi Besilisin, 27 tahun. Derfi mengatakan ia telah bekerja selama sembilan tahun pada majikannya tanpa dibayar. Ia juga mengaku bahwa selama itu ia mengalami penganiayaan fisik, tidak diberi cukup makan, ditempatkan dalam kondisi hidup yang buruk, dan tidak diizinkan untuk menghubungi keluarganya.
Derfi data ke Malaysia pada 2011 melalui agen resmi, namun majikannya tidak pernah memperpanjang kontrak kerjanya, meski tetap mempekerjakannya. Ia, seperti Ita, juga sedang berusaha lewat jalur hukum untuk mendapatkan gaji yang menjadi haknya.
“Mudah-mudahan yang lain tidak mengalami apa yang kami alami,” katanya.
‘Tidak mengikat secara hukum’
Penasihat untuk Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) di Malaysia, Nasrikah Paidin, sangat mengapresiasi penguatan perlindungan bagi pekerja domestik. Namun demikian, ia menyayangkan MoU tersebut tidak mengikat secara hukum.
“Tidak ada jerat hukumnya kepada pihak yang melanggar. Misalkan majikan yang tidak membayar gaji, kalau ada MoU ini tidak bisa dituntut gitu, karena dia bukan undang-undang. Itu hanya persepahaman kedua pihak,” kata Nasrikah.
Menurut Nasrikah, salah satu perlindungan kuat bagi pekerja domestik migran Indonesia di luar negeri adalah mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang sudah 18 tahun pembahasannya mandek di DPR.
RUU tersebut akan memberi PRT hak-hak yang sama seperti pekerja formal, seperti UMR, jaminan sosial, dan batasan jam kerja. Jika disahkan, aturan ini dapat menjadi salah satu daya ungkit untuk memperjuangkan hak-hak pekerja domestik di negara lain, kata Nasrikah.
Ia mencontohkan Filipina, yang pada 2015 menetapkan standar bahwa gaji PRT dari negaranya minimal $400 di manapun mereka bekerja.
“Kalau negara sendiri sudah melindungi, kita senang ngomongnya ke Malaysia. Karena kami selama ini di Malaysia itu menggembar-gemborkan [supaya] kami dilindungi sebagai pekerja. Terus dia kan membalikkan ke kami ‘Apakah negara kamu sudah melindungi kamu sebagai pekerja?’,” kata Nasrikah.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan RI, Rendra Setiawan, mengatakan meskipun perjanjian ini tidak mengikat secara hukum, ada risiko besar bila dilanggar, salah satunya Indonesia bisa berhenti mengirim tenaga kerja ke Malaysia.
Ia menjelaskan bahwa setelah MoU ditandatangani, pemerintah Indonesia mengatakan akan melakukan pengawasan dan pemantauan; juga secara rutin melakukan pertemuan dengan perwakilan Malaysia untuk mengevaluasi implementasinya.
Pemerintah Malaysia akan melakukan upaya-upaya hukum terhadap para majikan yang melanggar komitmen dalam MoU tersebut, kata Rendra.
“Dan kita serius. Maksudnya, kalau ada pelanggaran kita akan melakukan penyetopan dulu sementara untuk pengiriman sampai kita dapat kepastian lagi bahwa implementasi ini dapat berjalan dengan baik,” ia menegaskan.
Pemerintah, kata Rendra, juga berencana melakukan pembaruan pada MoU untuk sektor formal yang ditandatangani pada 2004 dan masih berlaku sampai sekarang. (*)
Sumber : bbc.com/indonesia