Beranda Nasional Toleransi yang Tak Bisa Dikikis Pandemi

Toleransi yang Tak Bisa Dikikis Pandemi

AGAK BERBEDA: Pedagang takjil di Kampung Jaton, Minahasa, pada Ramadan ini berjualan di teras rumah karena penerapan aturan jaga jarak. (LERBY TAMUNTUAN/MANADO POST)

Keprisatu.com – Meski tidak berpuasa, tiap Ramadan datang, ada ”ritual” yang hampir tiap sore dijalani Marchel Wolayan. Pergi ke Kampung Jawa Tondano (Jaton) yang warganya mayoritas beragama Islam.

”Karena kalau Ramadan begini di sana akan tersaji beragam makanan berat maupun ringan,” kata warga Kelurahan Luaan yang berbatasan dengan Kelurahan Jaton, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, itu, lantas terkekeh.

Di sana, di Kampung Jaton, Ramadan memang selalu diramaikan para pedagang takjil. Dan, para pembeli biasanya ramai berdatangan saat sore menjelang sebelum Magrib datang.

Sekali lagi, ”biasanya”. Pandemi Covid-19 yang menuntut orang untuk menjaga jarak dan menjauhi kerumunan mengubah lanskap itu. Penjual takjil memang tetap ada, tapi tidak di pinggir jalan. Tetapi, di teras atau halaman rumah.

Bagaimana dengan pembeli? Ini yang merosot drastis jumlahnya. ”Biasanya setiap hari saat bulan Ramadan kami bisa mendapat Rp 700 ribu sampai Rp 800 ribu. Namun, sekarang dapat Rp 150 ribu saja per hari susah karena orang yang datang juga dibatasi,” ungkap Ita Tanos, salah seorang pedagang yang juga warga Kampung Jaton, kepada Manado Post.

Kampung Jaton dihuni 2.651 jiwa dengan 725 kepala keluarga. Menurut lurah setempat, Suri Mertosono, 80 persen masyarakat muslim di Jaton merupakan keturunan Jawa.

Pandemi Covid-19 juga memaksa dipangkasnya sejumlah kegiatan di Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo. ”Untuk Tarawih dibatasi. Dan, zikir yang merupakan tradisi kumpul bersama untuk menjalankan ibadah sudah tak bisa dilakukan,” ungkap Hamzah Thayeb, salah seorang tokoh masyarakat Kampung Jaton.

Yang tak berubah adalah kuatnya tenggang rasa dan toleransi antarwarga. Kampung Jaton yang mayoritas penduduknya muslim itu berada di tengah kabupaten yang warganya pemeluk Kristen.

”Kalau Hari Raya Idul Fitri, misalnya, biasanya ada pemuda GMIM (Gereja Masehi Injil di Minahasa) yang turut mengamankan masjid serta lingkungan setempat. Begitu pula saat Natal tiba, para pemuda Jaton yang muslim turut mengamankan gereja,” kata Camat Tondano Barat Ivonne Wilar.

Toleransi itu sudah terpupuk sejak kampung tersebut mulai dibangun para pengikut Kiai Modjo yang diasingkan ke sana pada 1830. Tiga puluh tahun kemudian Masjid Al-Falah berdiri. Dan, pada 1880 para pendatang dari Jawa itu memohon kepada pemerintah kolonial Belanda agar diizinkan tinggal karena mereka sudah kawin-mawin dengan warga lokal.

Selama itu pula tak pernah ada insiden berbau SARA di sana. Sehari-hari warga dari berbagai latar belakang agama dan etnis pun berbaur akrab. Seperti halnya Marchel Wolayan yang menjadikan Kampung Jaton jujukan tiap sore saat Ramadan begini.

Bahkan, penegakan aturan jaga jarak pun tak luput memperlihatkan kentalnya persaudaraan warga lintas agama. ”Yang Islam dan Kristen turut bareng-bareng berjaga agar warga untuk sementara tidak beribadah berjamaah di masjid atau menggelar buka bersama,” katanya.

Sumber: Jawapos