Keprisatu.com – Ketentuan mengenai syarat anggota DPR/DPD/DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang dimuat Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Seperti dilansir kompas, penggugat adalah anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Bano. Keduanya menilai bahwa syarat pengunduran diri dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tersebut bertentangan dengan asas kesamaan kedudukan warga negara yang diatur UUD 1945.
Penggugat membandingkan dengan calon petahana yang hanya wajib cuti saat kampanye ketika telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
“Bahwa dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent), yang potensi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya sangat besar, namun hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye,” bunyi petikan permohonan dikutip dari berkas permohonan perkara di laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Pemohon juga membandingkan syarat pengunduran ini dengan menteri yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menteri yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah tak wajib mundur dari jabatannya, lantaran jabatan tersebut bersifat politis.
Menurut pemohon, jabatan legislatif dapat disamakan dengan jabatan menteri, karena eksistensi anggota legislatif sangat bergantung pada partai politik.
Selain itu, pemohon beranggapan bahwa tanpa mengundurkan diri sekalipun, anggota legislatif yang ditetapkan sebagai calon kepala daerah tak dapat menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan jabatan. Sebab, kekuasaan legislatif tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat dijadikan strategi pemenangan. Apalagi, keputusan legislatif tidak bersifat perorangan, melainkan kolektif.
“Bahwa selain itu, anggota legislatif dalam menjalankan kewenangannya dapat terlepas dari konflik kepentingan dan pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pemenangan. Karena sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, kelembagaan legislatif tidak menjalankan fungsi pemerintah atau memegang anggatan,” bunyi petikan permohonan lagi.
Dalam sidang perbaikan permohonan yang digelar Senin (6/7/2020), kuasa hukum pemohon menyampaikan bahwa pemohon telah memperbaiki berkas permohonannya sebagaimana nasihat yang diberikan Majelis Hakim MK dalam sidang pendahuluan beberapa waktu lalu.
Kuasa Hukum pemohon, Salman Darwis, mengatakan, dalam berkas perbaikan pemohon memperkuat kedudukan hukumnya. Pemohon juga menyampaikan perbedaan jabatan politik antara anggota legislatif dengan menteri.
“Untuk jabatan anggota pemohon I dipertajam. Pada pokok permohonan, pemohon membedakan sisi jabatan politik dibedakan antara legislatif dan menteri,” kata Salman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, dipantau dari siaran langsung Youtube MK, Senin (6/7/2020).
Putusan MK 2017 Pada 28 November 2017, MK telah membuat putusan Nomor 45/PUU-XV/2017 yang menolak gugatan uji materi terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa setiap anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pilkada. Menurut MK, aturan itu secara jelas dinyatakan dalam pasal yang digugat. Pasal tersebut mengatur mengenai ketentuan pengunduran diri anggota legislatif saat mendaftar sebagai calon peserta pilkada.
Mengacu pada putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015, hakim MK menuturkan, jabatan-jabatan tersebut bersinggungan dengan kewenangan yang diemban dan potensial disalahgunakan sehingga mengurangi nilai keadilan dalam pemilihan umum. Selain itu, ada potensi kondisi anggota DPR, DPD, atau DPRD yang mengikuti pilkada memanfaatkan jabatannya dan mengganggu proses kerja jika tidak mengundurkan diri.
“Sebab, orang serta-merta dapat bertanya, bagaimana jika yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah pimpinan DPR atau pimpinan DPD, atau pimpinan DPRD, atau bahkan pimpinan alat kelengkapan DPR, DPD, atau DPRD? Bukankah hal itu akan menimbulkan pengaruh terhadap tugas dan fungsinya,” ujar Hakim Anwar Usman saat itu dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK.
Selain itu, menurut MK, jika nantinya anggota DPR, DPD, dan DPRD juga terpilih dalam pilkada, hal itu akan berakibat dilakukannya proses pemilihan kembali untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan yang bersangkutan.(ks01)