Keprisatu.com – Kasus kekerasan dalam rumah tangga ditegakkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana UU memuat rumusan ketentuan pidana yang tertuang dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 53.
Rumusan ketentuan pidana tidak memberikan deskripsi makna UU Penghapusan KDRT yang mengutamakan pencegahan dan pemeliharaan rumah tangga rukun restorative, melainkan menegaskan makna bahwa UU Penghapusan Kekerasan memprioritaskan penuntutan terhadap para pelanggar kekerasan dalam rumah tangga yang berujung konflik norma. Konflik norma menjadi penyebabutama ketidakjelasan makna paradigma yang digunakandalam melihat kekerasan dalam rumah tangga.
Rumah tangga sebagai bentuk lembaga perkawinan harus mampu menjadi katalisator dalam mencegah berbagai kemungkinan kekerasan. UU Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan dalam membentuk keluarga dilaksanakan atas dasar ikatan lahir dan batin, dengan mengutamakan pemulihan keharmonisan dan keutuhan keluarga ke dalam semangat teologis, sosio-kultural dalam rumah tangga.
Paradigma ideologis dalam melihat kekerasan dalam rumah tangga lebih sejalan dengan prinsip non-diskriminasi, keadilan dan kesetaraan gender. Sedangkan biologis paradigma melihat kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah gender, sehingga mengutamakan semangat diskriminatif bahwa perempuan adalah korban utama dan laki-laki sebagai pelaku utama.
Paradigma biologis melihat sanksi berat dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga sebagai upaya utama dengan mengutamakan upaya retributive atau pembalasan dalam pandangan kekerasan di rumahtangga. Konflik (Ketentuan Pasal 3 Penghapusan KDRT UU) antara ketentuan pembukaan, Pasal 1 dan Pasal 3 tentang asas tersebut, membuat UU Penghapusan KDRT tidak mampu menjamin kepastian hukum dalam mencegah, bertindak dan melindungi, yang merupakan janji negara dalam menjamin penghapusan kekerasan di rumah tangga.
Telaah Filsafat Ilmu dalam UU Penghapusan KDRT
Emosional, psikologis, kedewasaan jasmani dan rohani seorang laki-laki dan perempuan dalam membangun ikatan batin dan lahiriah dimana semangat tersebut terbentuk secara teologis memerlukan keyakinan internal sebagai pengakuan keberadaan martabat manusia.
Dominasi public memandang kekerasan rumah tangga dalam paradigma biologis menghancurkan berbagai perlindungan paradigma teologisyang mutlak terhadap keluarga yang tidak lagi terhubungsecara lahir dan batin sehingga memunculkan perbuatan yang membantai hukum. Filosofi pengaturan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menunjukkan Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan pembangunan dan berhak atasperlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan Pasal 28 G mengamanatkan bahwa setiap orang berhak membentukkeluarga tanpa diskriminasi, kekerasan dalam segala bentuknya merupakan pelanggaran hak asasi manusia, secara ideologis pendekatan untuk pemulihan dan pencegahan adalahyang utama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini menyatakan maksud bahwa pembentuk hukum dan penegak hukum di Indonesia dalam berbagai kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga belum cukup kuat memahami disparitas antara kriminalisasi KDRT dan tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP dengan urgensi dari adanya UU Penghapusan KDRT untuk mengutamakan aspek pencegahan dengan mengutamakan pemulihan (restoratif), dan memandang KDRT sebagai masalah kematangan emosi, mental dan spiritual (ontologi).
(Filpan F. D Laia, SH, MH)