Keprisatu.com – Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan baru untuk mengatasi kisruh kelangkaan minyak goreng dengan mewajibkan industri menyediakan minyak curah dengan patokan harga tertinggi Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram.
Namun, langkah tersebut “hanya hiburan untuk masyarakat, tapi nggak pernah terwujud,” kata seorang anggota DPR. Sementara peneliti dari YLKI mengatakan kebijakan ini berpotensi diselewengkan pihak tertentu dengan kemasan palsu demi mendapat untung besar.
Di lapangan, seorang pedagang eceran mengatakan minyak goreng curah justru langka beberapa hari terakhir, dan harganya lebih dari Rp20.000 per kilogram.
Menteri perdagangan mengatakan kasus penimbunan minyak goreng saat ini “sudah proses hukum.”
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengumumkan aturan anyar yang mewajibkan 81 perusahaan minyak goreng menyediakan minyak curah untuk kebutuhan masyarakat dan UMKM. Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 8/2022.
“Kami wajibkan semua industri MGS [minyak goreng sawit] mendaftar melalui SIINas [Sistem Informasi Industri Nasional] dan bagi perusahaan industri yang tidak mendaftar, akan dikenakan sanksi,” kata Menteri Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan persnya, Selasa (22/03).
Per Selasa, 22 Maret 2022, Kemenperin mencatat sebanyak 47 perusahaan minyak goreng dan distributornya sudah mendaftar. Agar harganya bisa dipatok Rp15.500 per kilogram di masyarakat, pemerintah akan mensubsidi pembelian minyak curah dari perusahaan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Kami optimistis, program MGS Curah Subsidi ini mampu memasok kebutuhan pasar lebih besar dan dengan harga sesuai HET pemerintah,” kata Menperin.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram. Langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas dan kepastian dan keterjangkauan harga minyak goreng curah di tingkat konsumen.
Diragukan
Namun, langkah ini dianggap sebagai “hanya hiburan untuk masyarakat, tapi nggak pernah terwujud,” kata Amin AK, seorang anggota DPR komisi bidang perdagangan. “Ini pemerintah menyerah pada oligarki, menyerah pada kartel minyak goreng,” tambahnya.
Amin berkata, kelangkaan minyak goreng yang dalam dua bulan belakangan ini terjadi disebabkan sikap pemerintah yang tak tegas menegakkan aturannya sendiri.
Ia mencontohkan, kewajiban industri pengekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk mengalokasikan produksinya sebesar 20%–baru-baru ini dinaikkan menjadi 30%– untuk kebutuhan dalam negeri, dicurigai tak dipatuhi.
“Aturan ini bisa berjalan, kalau pemerintah menggunakan otoritasnya, dan semua instrumen yang dimilikinya. Tapi ternyata nggak mampu,” kata Amin.
Kewajiban alokasi CPO untuk kebutuhan dalam negeri atau disebut domestic market obligation (DMO) sebesar 20%, menurutnya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dalam negeri.
Kemendag mencatat kebutuhan minyak goreng dalam negeri di Indonesia pada 2022 mencapai 5,7 juta ton. Sementara produksi CPO tahun 2022 diperkirakan mencapai 49 juta ton. Dengan DMO sebesar 20%, jumlah tersebut lebih dari cukup untuk menyediakan minyak goreng dalam negeri.
“Stoknya berlimpah di pasar kalau [aturan] itu terlaksana, ternyata kan minyak goreng tetap nggak ada,” kata Amin.
Potensi kemasan palsu
Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri mengatakan kebijakan subsidi minyak curah ini juga tak bisa menyelesaikan persoalan kelangkaan minyak goreng.
“Karena kalau subsidi, minyak goreng yang bersubsidi ini akan ditimbun. Dan kemudian, minyak goreng yang disubsidi hilang juga dari pasar, dan kemudian ada black market dari barang-barang yang disubsidi tadi,” katanya.
Sesuai hukum ekonomi, kata Yose Rizal, pemerintah bisa membiarkan harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar. Di sisi lain, pemerintah bisa menaikkan pajak ekspor CPO, yang digunakan untuk bantuan sosial pada masyarakat.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menilai aturan subsidi minyak curah ini juga berpotensi dilabeli merk dagang, sehingga bisa dijual dengan harga goreng premium. “Ini adanya gap [harga minyak kemasan] dan curah terlalu tinggi. Ini juga potensial adanya pihak-pihak yang mencari keuntungan, dengan mengemas minyak curah,” katanya.
Ia mendorong pemerintah mempersiapkan instrumen untuk mencegah penyelewenangan ini.
Selain itu, ia juga menyoroti pengawasan kualitas minyak curah yang nantinya akan menjadi serbuan masyarakat karena harganya lebih murah dari minyak goreng kemasan.
“Konsumen tak bisa membedakan minyak curah dari pabrik, sama minyak jelantah yang didaur ulang kan sulit,” kata Sudaryatmo.
Sejurus dengan itu, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Hempri Suyatna mengatakan standar kualitas minyak curah ini menjadi perhatian, karena “implikasinya ke kesehatan masyarakat”.
“Sejauh mana pemerintah bisa memberikan keyakinan bahwa minyak curah yang beredar di lapangan, memenuhi kualitas,” kata Hempri.
Minyak Curah di Lapangan
Di hari yang sama pemerintah mengumumkan program MGS Curah Subsidi, seorang pedagang warung kecil di Jakarta Timur, mengatakan sudah empat hari tidak menjual minyak goreng.
Muhammad Hasin, 40 tahun, mengatakan harga minyak curah di agen justru sudah menembus Rp20.000 per kilogram.
“Sekarang jual minyak curah juga harganya satu derigen 15 kilogram, harganya Rp300.000. Itu pun sulit didapat minyaknya,” kata Hasin yang mengatakan, minggu lalu harganya masih Rp260.000.
“Karena nyarinya juga susah. Sehari belum tentu dapat. Sudah tiga hari nggak dapat minyak curah,” tambahnya.
Sementara itu, Rosinah, penjual gorengan mengatakan saat ini banyak menemui merk dagang minyak goreng. Ia mengaku tak pernah menggunakan minyak goreng curah untuk dagangannya, karena khawatir itu barang oplosan.
“Karena dengar-dengar ada campur oli, atau gimana gitu,” kata perempuan 52 tahun ini.
Rosinah mengatakan keuntungan jualan gorengan makin tipis, “yang penting asal buat makan saja.”
“Kalau dinaikin [harganya] kita tak laku kali. Kita tak naikan saja orang ada yang nawar Rp1000,” kata Rosinah yang masih menahan menjual satu gorengannya seharga Rp1500.
Bagaimanapun, jika harga minyak goreng kemasan tetap melambung, Rosinah akan mempertimbangkan untuk menggunakan minyak curah untuk dagangannya. “Kalau yang curah bagus, nggak ada campurannya, ya kita beli curah,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga di Jakarta Selatan, Anggi, mengaku beberapa kali kehabisan minyak goreng. “Nyari ke mana-mana, nggak ada, dari tukang sayur sampai ke Superindo, kosong semua.”
Tapi sekarang minyak goreng kemasan sudah tersedia di pasaran dengan harga mengikuti harga pasar.
“Itu dia, mau beli minyak tapi harganya mahal banget, masih mikir-mikir. Ya, [solusinya] ngurangin goreng-goreng nugget,” kata Anggi yang sejauh ini, masih mempertimbangkan untuk beralih ke minyak goreng curah.
Dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan kasus penimbunan minyak goreng “sudah proses hukum.”
“Semua sudah saya serahkan ke kepolisian,” kata Menteri Lutfi.
Namun, saat ditanya mengenai keberadaan minyak curah di lapangan yang harganya di atas HET Rp14.000 per liter, serta tuduhan pemerintah tak berdaya menghadapi kartel minyak goreng, Menteri Lutfi sejauh ini belum merespons. (*)
Sumber : http://bbc.com