
Batam, Keprisatu.com – Dalam momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia, kondisi mangrove atau bakau di pesisir Batam dan Kepulauan Riau (Kepri) menjadi sorotan tajam. Ketua Peduli Lingkungan Hidup dan Kelautan (PLHK) Kepri, menyatakan bahwa ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi krisis akibat alih fungsi lahan, reklamasi, dan aktivitas tambang ilegal yang terus terjadi di sejumlah wilayah pesisir.
“Kerusakan hutan mangrove tidak bisa lagi dianggap biasa. Ini sudah dalam kondisi darurat ekologis. Jika tidak ada upaya serius dan terukur, pesisir kita akan kehilangan fungsi perlindungan alaminya,” tegas Ketua PLHK Kepri, Kamis (5/6).
Mangrove memiliki peran penting dalam menjaga garis pantai dari abrasi, menyimpan karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim, serta menjadi tempat asuh dan berkembang biak berbagai biota laut. Namun, seiring meningkatnya tekanan pembangunan, banyak kawasan bakau yang beralih fungsi menjadi kawasan industri, pelabuhan, maupun pemukiman.

Sebagai bentuk komitmen pelestarian, PLHK Kepri aktif melakukan berbagai program konservasi. Salah satunya dengan menjalin kerja sama lintas sektor, termasuk dengan pemerintah dan komunitas lokal, untuk merehabilitasi kawasan mangrove kritis di berbagai titik di Kepri.
PLHK juga mencatat, salah satu langkah konkret yang sudah dijalankan adalah program pembibitan dan penanaman mangrove yang dimulai dari kawasan pesisir Setokok, Kota Batam. Program ini tidak hanya menjadi simbol aksi pelestarian, tapi juga diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya peran mangrove bagi keberlanjutan hidup di wilayah pesisir.
“Setokok kami jadikan titik awal gerakan, karena kawasan ini dulu kaya akan hutan bakau, namun kini banyak yang rusak. Kami ingin membangkitkan kembali kesadaran bahwa alam punya hak untuk pulih,” jelas Ketua PLHK.
Di momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini, PLHK Kepri menyerukan agar semua pihak turut berperan aktif, tidak hanya dengan menanam, tetapi juga menjaga dan mengawasi keberlangsungan hutan mangrove yang tersisa. “Aksi nyata, bukan hanya seremoni. Karena kita semua bergantung pada alam yang sehat,” pungkasnya.
Upaya konservasi mangrove juga turut dilakukan oleh Kelompok Wisata Mangrove Terpadu Setokok. Kelompok ini dibentuk sebagai inisiatif masyarakat lokal untuk menyelamatkan ekosistem mangrove yang kian tergerus aktivitas manusia. Mereka menggabungkan konsep pelestarian lingkungan dengan kegiatan wisata edukatif berbasis mangrove.
Konservasi mangrove yang dilakukan kelompok ini mencakup penanaman kembali mangrove di lahan kritis, perlindungan dari aktivitas perusakan, serta pemantauan rutin terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu, kelompok ini juga aktif mengedukasi pengunjung dan warga sekitar tentang pentingnya menjaga keberlangsungan ekosistem bakau.
“Konservasi bukan cuma soal menanam, tapi bagaimana kita memastikan pohon yang ditanam bisa tumbuh dan memberikan manfaat jangka panjang. Kami juga ingin masyarakat merasa memiliki dan ikut terlibat,” kata salah satu anggota Kelompok Wisata Mangrove Terpadu Setokok.
Kelompok ini telah diperluas ke berbagai kecamatan pesisir di Batam dan Kepri yang masih memiliki potensi mangrove. Setiap kelompok dibentuk secara swadaya dengan pendampingan dari PLHK dan sejumlah lembaga pemerhati lingkungan. Kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan model pelestarian berbasis masyarakat yang berkelanjutan.
Dengan pendekatan wisata edukatif dan keterlibatan masyarakat lokal, konservasi mangrove di Setokok kini menjadi contoh praktik baik yang dapat direplikasi di wilayah pesisir lainnya. Melalui aksi bersama dan kesadaran kolektif, keberlangsungan ekosistem mangrove diyakini masih bisa diselamatkan. (KSo3)
Editor : Tedjo