Beranda Kesehatan Kelaziman Baru bagi Ibu Hamil Terkait Pandemi Covid-19

Kelaziman Baru bagi Ibu Hamil Terkait Pandemi Covid-19

Banyak Tes untuk Antisipasi Penularan

132
0
Kelaziman Baru bagi Ibu Hamil Terkait Pandemi Covid-19
 PROTOKOL KETAT: Tim dokter sedang menolong persalinan melalui operasi Caesar di sebuah RSIA di Jakarta. (Adek Berry/AFP)

Keprisatu.com – Pandemi Covid-19 merombak banyak hal ’’normal’’ dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk buat para ibu hamil. Calon ibu dan ayah patut bersiap agar tak terkaget-kaget.

HAMIL dan melahirkan di masa pandemi menjadi tantangan untuk calon ibu. ’’Yang dikhawatirkan, saat bumil terinfeksi Covid-19, gejalanya akan lebih berat. Apalagi kalau ibu punya penyakit penyerta seperti diabetes,’’ papar dr Marinus Frederikus N. S SpOG.

Marfred, sapaan Marinus, menyatakan, pandemi juga berdampak pada pemeriksaan kehamilan dan persalinan. ’’Kontrol tetap diperlukan, tapi dengan penyesuaian. Dari periksa bulanan, diubah lebih jarang,’’ lanjut spesialis kebidanan dan kandungan yang berpraktik di RS Katolik St Vincentius a Paulo Surabaya itu.

Jika kehamilan tidak berisiko tinggi dan tanpa komplikasi, pemeriksaan dilakukan 1–2 kali selama delapan bulan kehamilan. Jika ibu berisiko tinggi atau ada penyakit komorbid, pemeriksaan bisa diseringkan. Plus, kontrol usia kandungan lebih dari 36 minggu. Di pemeriksaan terakhir, dokter akan mengecek kondisi menjelang persalinan. Mulai posisi bayi, ketuban, hingga perkiraan lahir. ’’Kalau ada kemungkinan infeksi, ada protokol tertentu dalam persalinan,’’ lanjut Marfred.

Dokter Manggala Pasca Wardhana SpOG(K) menambahkan, ada peraturan dari fasilitas kesehatan yang lebih ketat terkait dengan penerimaan ibu melahirkan. ’’Covid-19 kan penularannya mudah, lewat droplet. Makanya, kita harus lebih waspada,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (1/6).

Mengidentifikasi pasien Covid-19 pun cukup tricky. Sebab, ada beberapa pasien yang tidak bergejala. Dia merujuk pada salah satu penelitian yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine. Banyak pasien positif Covid-19 di New York yang justru tidak menunjukkan gejala.

Karena itulah, dokter perlu melakukan triase untuk mengevaluasi pasien tersebut berisiko Covid-19 atau tidak. Bukan sekadar anamnesis dan pemeriksaan fisik, melainkan juga cek laboratorium. Tes paling ideal untuk mengidentifikasi Covid-19, menurut Manggala, adalah PCR (polymerase chain reaction) atau biasa dikenal dengan swab test.

Sayang, fasilitas PCR di Indonesia masih terbatas sehingga banyak faskes yang melakukan tes secara klinis. ’’Misalnya, dengan pemeriksaan fisik, history tracking, foto dada, tambah juga cek lab untuk lihat parameter darah, dan ada juga beberapa yang menerapkan rapid test,’’ terang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang berdinas di RSUD dr Soetomo Surabaya tersebut.

Dia menjelaskan, skrining untuk mengidentifikasi pasien dengan Covid-19 itu dilakukan dengan dua tujuan utama. Yakni, mencegah penularan ke pasien sehat dan tenaga kesehatan serta menempatkan pasien dengan benar agar mendapat pelayanan yang aman dan optimal. ’’Yang dilakukan RS dengan melakukan tes sana sini itu bukan karena ketakutan berlebihan, tapi untuk mengantisipasi. Coba bayangkan jika ada faskes yang tidak bisa mengontrol infeksi di tempat itu. Ya, pelayanan bisa berhenti dan berbuntut panjang,’’ jelasnya.

Pindah-Pindah RS Penuhi Syarat Melahirkan

Ketatnya protokol menjelang persalinan dialami Clarissa Diva, perempuan asal Surabaya ketika melahirkan putri pertamanya, Callaluna Rana Maneera, pada 9 Mei lalu.

Sejak awal, perempuan yang akrab disapa Vava itu berniat melahirkan secara normal di sebuah RSIA swasta. Pada usia kehamilan 39 minggu, berat janin diperkirakan 3.400 gram. ’’Menurut dokterku, susah lahiran normal karena bayi kegedean. Akhirnya di-planning induksi,’’ jelasnya kepada Jawa Pos kemarin (1/6).

Dia dirujuk ke RSIA tujuan. Vava masuk ke IGD, kemudian menjalani pengecekan tensi darah, detak jantung bayi, kontraksi, dan pemeriksaan dasar lain. Rupanya pihak rumah sakit meminta syarat foto toraks. Vava mengaku baru diberi tahu saat itu. Padahal, dia sempat menanyakan persyaratan persalinan di RS tersebut sepekan sebelumnya. ’’Waktu itu 7 Mei pas tanggal merah, jadi lab (laboratorium, Red) di luar tutup dan mereka enggak punya lab sendiri,’’ katanya.

Dia datang ke rumah sakit umum swasta. Antrean panjang karena banyak ODP yang menjalani tes di sana. Dia ke rumah sakit umum swasta lain. Ditolak. ’’Mereka enggak mau terima foto toraks ibu hamil karena takut dampak radiasinya ke bayi,’’ terang Vava. Dia pindah ke rumah sakit swasta ketiga dan akhirnya bisa menjalani foto toraks di sana. Hasilnya keluar satu jam kemudian dan dia kembali ke RSIA pertama.

’’Sudah melakukan rapid test, hasilnya nonreaktif. Foto toraks juga bagus, enggak ada tanda flek paru. Cuma ada unsur NLCR (neutrophil to lymphocyte count ratio, Red) yang tinggi,’’ jelasnya.

Pihak RS menolaknya. Sebab, NLCR yang tinggi merupakan salah satu indikasi Covid-19. ’’Kaget banget dan udah bingung mau lahiran di mana, sementara kontraksi jalan terus,’’ imbuhnya.

Dokter kandungan yang selama ini merawatnya menyarankan Vava untuk ke rumah sakit umum, bukan RSIA. Di sana, dia menjalani swab test sebanyak dua kali. Demikian pula sang suami yang menjadi pendamping mesti swab test satu kali. ’’Rasanya sakit banget, dimasukin benda mirip cotton bud ke hidung. Kayak nembus di mata…hahaha,’’ ceritanya. Vava harus menunggu hasil swab test pertama keesokan harinya.

Selama menunggu, dia ditempatkan di kamar isolasi bersama sang suami. ’’Udah enggak boleh keluar dan semua petugas yang masuk pakai APD lengkap,’’ katanya. Sementara itu, kontraksinya terus berlangsung, bahkan Vava sempat muntah. Akhirnya diputuskan operasi Caesar karena belum ada pembukaan.

Meski hasil swab test pertama negatif, Vava harus tetap menunggu hasil tes kedua. ’’Waktu operasi hasil tes kedua belum muncul. Jadi, kita diperlakukan seperti pasien Covid-19. Semua dokter dan nakes pakai APD full selama operasi,’’ jelasnya.

Setelah segala persiapan, proses operasi hanya berlangsung selama 15 menit. ’’Aku yang dibius menjadi ngantuk banget. Cuma bisa dengar suara bayinya nangis dan lega rasanya,’’ urainya.

KAPAN SEGERA KE RS?

  • Ketika ada keluhan terkait dengan penyakit komorbid (hipertensi, diabetes, dll).
  • Muncul gejala seperti demam, diare, dan sesak napas.
  • Pendarahan diikuti nyeri perut.
  • Kontraksi hebat.
  • Kejang.
  • Ketuban pecah.
  • YANG KERAP JADI PERTANYAAN

KALAU DINYATAKAN POSITIF COVID-19, APAKAH IBU BISA MENYUSUI BAYI?

  • Bisa. Ibu tetap bisa memberikan ASI eksklusif dan inisiasi menyusui dini (IMD). Jika kondisinya ringan, ibu bisa menyusui bayi. Namun, jika gejala berat, ASI bisa diberikan secara tidak langsung. Berikut beberapa poin yang perlu diperhatikan.
  • Cuci tangan sebelum dan sesudah menimang bayi.
  • Pakai masker saat menyusui.
  • Bersihkan permukaan benda di ruangan menyusui dengan disinfektan.

PERLUKAH MENYIAPKAN FACE SHIELD KHUSUS BAYI?

  • Tidak perlu. CDC mengimbau bayi 0–24 bulan tidak memakai pelindung wajah. Sebab, face shield meningkatkan risiko sesak (karena bagian mulut dan hidung tertutup bahan plastik) serta terbelit strap.

BOLEHKAH DIDAMPINGI PASANGAN/KELUARGA SAAT PERSALINAN?

  • Dibatasi satu orang dan wajib mengikuti protokol.

Sumber: jawapos