Keprisatu.com – Indonesia meloloskan dua wakil tunggal putra ke Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan tahun depan. Teman seangkatan, yang berjuang bareng sejak masa junior, dan sama-sama menjadi ujung tombak di era potong generasi tunggal putra dipastikan mengunci tiket.
Mereka adalah Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie.
Kepastian itu tidak lepas dari keputusan BWF yang dilansir pekan lalu. Federasi bulu tangkis dunia itu telah merevisi peraturan kualifikasi Olimpiade Tokyo. Kualifikasi dilanjutkan pada 4 Januari sampai 2 Mei 2021. Semua event tahun ini yang ditunda hingga akhir tahun, seperti Malaysia Open, tidak dihitung.
Dalam peringkat Race to Tokyo, Anthony menempati urutan keempat dengan 75.332 poin. Sementara itu, Jonatan berada pada urutan ketujuh dengan 72.940 poin. Di posisi ke-14 ada Shesar Hiren Rhustavito dengan 48.970 poin. Dengan sisa turnamen kualifikasi pada 2021 nanti, posisi Anthony maupun Jonatan tidak mungkin tergeser oleh Vito, sapaan Shesar.
Itu berarti, setelah delapan tahun, Indonesia kembali meloloskan dua wakil tunggal putra ke Olimpiade. Sektor tersebut memang punya sejarah lumayan bagus. Sejak bulu tangkis digeber kali pertama di Barcelona pada 1992, Merah Putih konsisten mengirim lebih dari satu nama. Hanya pada edisi 2016 di Rio kita hanya mampu meloloskan Tommy Sugiarto.
Hal itu disambut baik oleh pelatih tunggal putra pelatnas Hendri Saputra. ’’Kami akan lakukan dan siapkan yang terbaik pada saat batas akhir nanti. Hanya saja kondisi saat ini memang belum bisa diprediksi,’’ tutur Hendri ketika dihubungi kemarin.
Olimpiade yang ditunda setahun cukup disyukuri Hendri. Dengan begitu, Anthony dan Jonatan bisa lebih fokus mempersiapkan diri karena tiket sudah pasti di tangan. Namun, Hendri tidak ingin berpikir terlalu jauh terlebih dahulu. Pasalnya, mereka juga punya target di depan mata. Yakni, sisa turnamen sepanjang 2020 ini. Termasuk Piala Thomas.
’’Olimpiade masih jauh, ya. Kami menjaga segala kondisi fisik. Memperbaiki teknik dan memperkuat mental melalui berbagai pertandingan yang akan diikuti nanti,’’ papar Hendri. ’’Untuk sekarang yang penting kondisi dulu saja,’’ imbuhnya.
Masalah mental akan menjadi perhatian khusus nanti. Sebab, pressure dalam event sebesar Olimpiade jelas berbeda. Unggulan pertama tidak selalu –bahkan sulit– juara. Setidaknya jika kita berkaca pada sejarah.
Lee Chong Wei dua kali menjadi unggulan pertama, yakni 2012 dan 2016. Dua-duanya berakhir dengan medali perak.
Sebaliknya, ketika merebut emas pada 2004, Taufik Hidayat bahkan tidak berstatus unggulan! Saat itu unggulan pertamanya adalah Lin Dan. Sedangkan waktu Taufik menjadi unggulan pertama pada 2000, dia malah hanya mentok di perempat final.
Hendrawan, yang diunggulkan di tempat kedua, berhasil meraih perak.
Anthony sepakat dengan pandangan sang pelatih. ’’Ya, ini memang Olimpiade pertama saya dan saya belum pernah merasakan suasananya kayak gimana. Tapi, saya tidak mau terlalu mikir ke arah sana,’’ tuturnya. ’’Saya coba semaksimal mungkin mempersiapkan dan menikmati waktu ke depan sampai nanti puncaknya di Olimpiade,’’ tambah pemain 23 tahun tersebut.
Pemain yang dibesarkan klub SGS PLN Bandung itu mengaku senang bisa berangkat ke Tokyo bersama Jonatan. Soal peluang, dia menyebut dirinya dan Jonatan mempunyai kans yang sama untuk meraih medali.
’’Mau siapa pun lawannya nanti, semua bisa menang dan kalah. Jadi, intinya, tinggal bagaimana kita menyikapi dan mempersiapkannya dengan baik,’’ ungkapnya.
Artinya, Anthony maupun Jonatan sebenarnya tidak perlu ngeper dengan lawan-lawan mereka nanti. Kento Momota, raja tunggal putra saat ini, pasti juga merasakan pressure yang luar biasa sebagai andalan tuan rumah.
Situasi seperti itulah yang harus benar-benar dimanfaatkan tim tunggal putra pelatnas.
Kabid Binpres PBSI Susy Susanti mengatakan bahwa peluang selalu ada. Pihaknya tentu ingin menjaga tradisi emas Olimpiade. Tidak hanya dari tunggal putra saja.
’’Minimal mendapat satu gelar dari sektor mana pun. Prestasi memang naik dan turun. Kami tidak menekankan siapa. Semua mempunyai kesempatan yang sama,’’ papar Susy. ’’Atlet sendiri juga sudah tahu tugasnya untuk bisa meraih capaian tertingginya,’’ imbuh dia.
Susy menambahkan, dalam mengikuti Olimpiade, tantangan terbesar atlet adalah menjaga motivasi diri sendiri. Apalagi, Olimpiade ditunda. Dalam setahun, peta kekuatan bisa berubah.
’’Ada pemain yang tambah matang. Ada yang malah turun karena peak performance sudah lewat. Banyak faktor yang memengaruhi,’’ tutur dia. ’’Sekarang bagaimana kami menjaga motivasi itu melalui program yang tepat dan strategi yang tepat juga,’’ tegas peraih emas Olimpiade Barcelona 1992 dan perunggu Olimpiade Atlanta 1996 tersebut.
Sumber: jawapos