Batam, Keprisatu.com – Pemerintah telah mengumumkan dibentuknya Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk mengusut Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan setidaknya 125 orang pada Sabtu (1/10/2022) lalu.
TGIPF yang diumumkan pada Senin (3/10) ini diketuai oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan beranggotakan 13 orang, mulai dari menteri, akademisi, jurnalis, mantan pengurus PSSI, hingga mantan pemain Timnas Indonesia.
Nugroho Setiawan masuk ke dalam TGIPF. Ia merupakan eks Security Officer PSSI. Setelah keluar dari federasi, Nugroho menjabat sebagai security officer di Konfederasi Sepakbola Asia (AFC).
Nugroho Setiawan bukanlah orang asing di bidang pengamanan pertandingan sepakbola. Ia telah terjun di bidang keamanan sepakbola sejak menjadi Security Officer Pelita Jaya pada 2008 silam.
Nugroho kemudian menjadi Head of Infrastructure, Safety, and Security PSSI. Ia memiliki lisensi Security Officer dari FIFA dan AFC, menjadi satu-satunya security officer aktif di Indonesia yang mengantongi lisensi FIFA.
Sebagai pengurus PSSI di bidang keamanan, Nugroho umumnya dilibatkan dalam pertandingan-pertandingan seremonial dan pertandingan dengan status berisiko tinggi.
Selain terjun ke bidang keamanan sepakbola, lulusan Sastra Rusia Universitas Indonesia ini pernah menjadi konsultan ahli manajemen pengamanan di berbagai perusahaan, antara lain Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Sucofindo.
Selain itu, berdasarkan wawancara Nugroho yang dimuat laman resmi PSSI pada April 2018, ia juga menjadi pengajar untuk sertifikasi manajer keamanan.
Pada 2018 lalu, Nugroho menyebut keamanan pertandingan sepakbola di Indonesia masih jauh dari seharusnya. Sepakbola Indonesia belum bisa dijadikan sarana rekreasi dan hiburan untuk keluarga.
“Sepak bola ini stakeholder-nya banyak. Mulai panitia penyelenggara, media, suporter, hingga aparat kepolisian. Semua harus benar-benar komitmen mengenai masalah keamanan,” kata Nugroho dikutip laman resmi PSSI.
“Menyepelekan satu hal kecil tentang keamanan bisa berarti membuka celah untuk sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dalam sebuah pertandingan,” lanjutnya.
Nugroho tidak lagi menjabat sebagai pengurus PSSI sejak 2020 silam. Dalam wawancara bersama ABC News yang dikutip Kompas.com, ia mengaku terpaksa menyingkir dari federasi karena “politik.”
“Ada situasi politik organisasi di mana saya harus menyingkir,” katanya.
Nugroho menyebut kekacauan di Kanjuruhan sebenarnya bisa dikalkulasi, diprediksi, kemudian dimitigasi. Ia pun menyesalkan bagaimana tragedi sebesar itu bisa terjadi.
Mengenai peristiwa di Kanjuruhan, Nugroho mengaku hanya bisa berkomentar secara normatif karena tidak berada di lokasi kejadian.
Ia menyoroti tiga poin yang mesti ada dalam penyelenggaraan pertandingan yang mesti disinkronisasi.
“Poin yang kesatu adalah kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder. Yang kedua adalah kondisi infrastruktur, ini harus dilakukan assessment. Yang ketiga adalah supporter behaviour itu sendiri yang harus kita engineering,” kata Nugroho.
“Ketiga aspek ini harus tersinkronisasi, dan ketika kita melakukan penilaian risiko atau risk assessment, kita akan menghasilkan sebuah rencana pengamanan yang disetujui bersama, jadi suatu agreed behaviour and procedure,” lanjutnya.
Nugroho menduga sinkronisasi tiga hal tersebut kemungkinan tidak terjadi di Stadion Kanjuruhan. Menurutnya, kesamaan persepsi antara pihak berwenang dalam pengamanan pertandingan sepakbola belum tercapai di Indonesia.
Sebelum ditunjuk sebagai anggota TGIPF Tragedi Kanjuruhan, Nugroho menyebut investigasi peristiwa ini mestinya dilakukan badan independen, bukan PSSI.
“Bagi saya satu orang (tewas) saja sudah luar biasa apalagi ini sampai 100 orang lebih. Jadi harus badan yang lebih tinggi atau independen,” kata Nugroho.
KS10
Sumber: kompas.tv