Beranda Bisnis Harga Minyak Dunia Turun, Kenapa BBM Subsidi Naik ?

Harga Minyak Dunia Turun, Kenapa BBM Subsidi Naik ?

78
0
Pertamina Umumkan Harga BBM Berlaku 1 April 2022, Pertalite Tidak Naik,  Pertamax Naik - TiNewss
Foto: Istimewa

 

Batam, Keprisatu.com – Harga minyak mentah dunia memang tercatat terus melandai sejak pertengahan Agustus lalu, namun penurunan harga minyak saja dinilai belum cukup untuk menekan beban subsidi BBM.

Melansir data Refinitiv, pekan ini saja harga minyak mentah jenis brent melemah 7,89% menjadi US$ 93,02/ barel secara point-to-point. Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) pekan ini harganya ditutup di US$ 86,87/barel atau melemah 6,65% dalam sepekan.

Harga minyak mentah dunia sebenarnya sudah bergerak turun secara signifikan sejak awal Juli saat isu resesi menguat. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia/ICP yang ditetapkan Kementerian ESDM pun sudah turun dari US$117,62 per barel pada Juni 2022 menjadi US$106,73 per barel pada Juli. Hitungan ICP yang lebih rendah ini akan menjadi patokan dalam besaran subsidi.

BBM Subsidi Kenapa Tetap Naik?

Kenaikan harga BBM subsidi di tengah pelemahan harga minyak global terjadi karena potensi membengkaknya subsidi yang dibayarkan pemerintah apabila harga Pertalite dan Pertamax terus ditahan oleh pemerintah.

Sejatinya, kenaikan harga BBM subsidi telah lama terlihat dari fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pemerintah bahkan telah menyesuaikan asumsi APBN terhadap Indonesian Crude Price (ICP) dari sebelumnya US$ 63/barel menjadi US$ 100/barel. Asumsi nilai tukar ditetapkan Rp 14.700/US$, dan volume pertalite diperkirakan akan mencapai 29 juta kiloliter serta volume solar bersubsidi mencapai 17,44 juta kiloliter.

Penyesuaian asumsi ICP tersebut juga membuat anggaran belanja subsidi dan kompensasi energi ikut mengalami kenaikan.

Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi tiga kali lipat. Subsidi BBM dan elpiji naik dari Rp 77,5 triliun menjadi Rp 149,4 triliun serta subsidi listrik dari Rp 56,5 triliun menjadi Rp 59,6 triliun. Sementara, kompensasi untuk BBM dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 252,5 triliun serta kompensasi untuk listrik naik dari Rp 0 menjadi Rp 41 triliun.

Sehingga total subsidi dan kompensasi untuk BBM, elpiji, listrik itu mencapai Rp502,4 triliun, seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Meski anggaran subsidi telah naik signifikan, nyatanya pasar energi yang masih panas membuat subsidi tersebut tetap akan membengkak signifikan, menurut perhitungan Kementerian Keuangan.

“Kami terus mengalami perhitungan dengan harga ICP yang turun ke US$ 90 sekalipun maka subsidi masih akan besar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui akun Youtube Sekretariat Presiden.

Menurutnya meski harga ICP menjadi US$ 90, subsidi berada masih berada di US$ 98,9. Selanjutnya jika turun di bawah US$ 90 sekalipun, maka rata-ratanya adalah US$ 97.

Dengan perhitungan tersebut, menurut Menkeu, angka kenaikan subsidi dari Rp 502 triliun masih akan tetap naik. Subsidi akan naik menjadi Rp 653 triliun jika harga ICP adalah rata-rata US$ 99/barel. Sedangkan jika harga ICP sebesar US$ 85/barel sampai Desember 2022 maka kenaikan subsidi menjadi Rp 640 triliun.

Naiknya BBM subsidi nyatanya tidak hanya dipengaruhi oleh harga minyak global, melainkan oleh sederet parameter lainnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa harga minyak mentah hanya satu parameter dalam menentukan besaran subsidi. Pergerakan nilai tukar rupiah dan konsumsi menjadi parameter lain dalam perhitungan subsidi. Konsumsi BBM inilah yang menurut Fabby harus menjadi perhatian utama pemerintah.

Menurut Fabby, harga BBM subsidi yang rendah ikut membuat terjadinya pemborosan dan memberikan contoh mobilisasi tinggi menggunakan mobil pribadi, alih-alih memanfaatkan transportasi umum.

“Harga yang disubsidi merangsang konsumsi yang excessive,” tutur Fabby, kepada CNBC Indonesia.

Penggunaan berlebihan ini berdampak pada sekaratnya pasokan BBM subsidi. Kuota Pertalite dan Solar Subsidi diperkirakan hanya akan cukup sampai pertengahan Oktober 2022 ini, jika tidak ada pembatasan.

PT Pertamina Patra Niaga anak usaha PT Pertamina (Persero) mencatat kuota BBM jenis Pertalite tersisa 3,55 juta Kilo Liter (KL) sampai akhir Agustus 2022 dari yang ditetapkan tahun ini mencapai 23,05 juta KL.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah juga berencana untuk menambah kuota, khususnya untuk penambahan Pertalite mencapai sekitar 5 sampai 6 juta KL. Sementara tambahan kuota Solar Subsidi mencapai 2 juta KL.

Tinginya permintaan akan BBM subsidi ikut menggerogoti anggaran subsidi. Sejak tahun 2006, penjualan BBM subsidi tidak pernah berkurang, kecuali tahun pandemi 2020 ketika mobilitas masyarakat tertahan. Tahun lalu penjualan tersebut kembali naik, meskipun masih di bawal level tertinggi tahun 2019.

Fabby menambahkan disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi juga bisa terus merongrong kuota BBM. Pembeli akan beralih menggunakan BBM yang murah jika disparitas harga terlalu besar. Kondisi ini akan membuat konsumsi rawan jebol dan subsidi membengkak karena penggunaan terus meningkat.

Fabby menjelaskan pemerintah bisa melakukan pembatasan konsumsi untuk menekan penggunaan BBM jika opsi kenaikan tidak diambil.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pengendalian konsumsi akan menjadi kunci untuk menekan beban subsidi. Kenaikan harga merupakan salah satu cara untuk menekan konsumsi. “Konsumen kan realistis. Kalau harus berhemat ya mereka harus berhemat,” ujarnya.

Anggaran Belanja Subsidi Dialihkan

Sri Mulyani Sebut Subsidi BBM Bisa Tembus Rp 653 T, Kalau...
Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat mengumumkan kenaikan BBM subsidi/Foto: Biro Pers, Media Sekretariat Presiden

 

Dengan menaikkan harga BBM dan Solar subsidi, pemerintah mengungkapkan akan menggunakan dana anggaran tersebut untuk membantu kalangan yang paling terdampak akan kenaikan harga BBM.

Sebelumnya Sri Mulyani sempat menyebut bahwa bahan bakar fosil yang disubsidi oleh pemerintah ternyata masih banyak yang belum tepat sasaran.

Sri Mulyani sempat merinci, dari total Pertalite yang disubsidi, sekitar 80% atau Rp 80 triliun dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas.

Demikian juga dengan Solar, dengan nilai subsidi mencapai Rp 143 triliun, ternyata dari catatan Kementerian Keuangan 89% atau berkisar Rp 127 triliun dinikmati oleh dunia usaha dan orang kaya.

Sri Mulyani menjelaskan belanja yang tadinya untuk subsidi penggunaannya akan dialihkan untuk memberikan bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat. Pemerintah juga akan terus memantau perkembangan ICP. Selain juga dampak inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta kemiskinan dari kenaikan BBM.

Pemerintah memperkirakan bansos yang diberikan dengan tambahan Rp 24,17 triliun, maka pemerintah dapat menahan pertambahan jumlah kemiskinan. Dengan begitu dapat dijaga serta diupayakan melalui program pemerintah lain.

KS1O

Sumber: cnbcindonesia.com