Beranda Kepri Ekspor Pasir Laut Bisa Jadi Masalah Hukum, Hati-Hati Dipanggil APH

Ekspor Pasir Laut Bisa Jadi Masalah Hukum, Hati-Hati Dipanggil APH

21
0
Ekspor Pasir Bisa Jadi Masalah Hukum, Hati-Hati Dipanggil APH
Aturan ekspor pasir yang sedang menjadi kontroversi.
Ekspor Pasir Bisa Jadi Masalah Hukum, Hati-Hati Dipanggil APH
Aturan ekspor pasir yang sedang menjadi kontroversi.

Keprisatu.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut. Beleid yang diumumkan 15 Mei 2023 tersebut diterbitkan sebagai upaya terintegrasi yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di laut.

Salah satu yang diatur dalam beleid tersebut adalah memperbolehkan pasir laut diekspor keluar negeri. Hal ini diatur dalam dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

“Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d, PP No.26 tahun 2023 tersebut.

Aturan ini pun tak ayal menuai sejumlah kontroversi, termasuk dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menyebut bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut sebagai aturan yang lucu.

Pasalnya, salah satu pertimbangan diterbitkannya PP ini yaitu disebutkan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan pembersihan sedimentasi di laut dengan tujuan menjaga kesehatan dan kebersihan laut. Sementara itu, hingga kini ia belum menemukan korelasi antara sedimentasi dengan kesehatan laut.

“Agak lucu ini, udah kayak UU olahraga nasional karena mengatur kesehatan, sampai sekarang saya belum ketemu korelasi antara sedimentasi dengan kesehatan laut,” ungkap Maman dalam Rapat Kerja bersama Menteri ESDM Arifin Tasrif, yang dikutip Kamis (14/6/2023).

Dia juga turut menyoroti pasal yang berisi “Dalam hal badan usaha yang melakukan pembersihan sedimentasi, menemukan mineral (pasir laut) dan akan memanfaatkannya secara komersial/penjualan harus mengajukan IUP untuk penjualan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pertambangan Minerba.”

Selain itu, ia juga bingung mengenai pasal yang menyatakan bahwa wilayah yang dilakukan pembersihan ditentukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan kajian dan tidak boleh masuk dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan.

“Gimana caranya kita mengambil pasir yang tersedimentasi tapi itu di luar IUP kita, tapi bisa manfaatkan itu, sepemahaman saya kalau UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kita melakukan aktivitas mineral dan tambang kita harus ada dasar IUP (Izin Usaha Pertambangan) dulu,” katanya.

Oleh sebab itu, Maman menilai terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut berpotensi menimbulkan tumpang tindihnya aturan dan wewenang.

Ia pun mengingatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk berhati-hati dalam menyikapi aturan ini. Pasalnya, hal ini bisa menjadi persoalan hukum di kemudian hari.

Maman memandang PP Nomor 26 Tahun 2023 menabrak proses mekanisme di dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Hal tersebut menyusul dengan pemanfaatan sedimentasi pasir laut yang dapat dilakukan oleh siapapun dengan membentuk badan usaha tanpa harus mengajukan IUP terlebih dahulu.

“Ini yang saya bilang kenapa PP ini berpotensi menimbulkan dispute dan tumpang tindih aturan. Bahkan, saya sudah kasih disclaimer Kementerian ESDM hati-hati loh. Jangan sampai 2-3 tahun dipanggil APH gara-gara aturan yang menurut saya tumpang tindih,” ujar Maman.

Menurut Maman, alih-alih memberikan wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah seharusnya dapat mendorong pemanfaatan pasir laut melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (KS04)