Keprisatu.com – Dugaan kebocoran data pengguna Indonesia Health Alert Card atau eHAC bukan hal remeh. Sebab data seperti itulah yang sempat mengubah wajah perpolitikan Amerika.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menyatakan dugaan kebocoran data eHAC itu bukan persoalan enteng.
Damar membandingkan dugaan kebocoran sekitar 1,3 juta data masyarakat Indonesia, dengan 600 ribu data pengguna Facebook. Data FB itu kemudian lembaga konsultan Cambridge Analytica mengolahnya.
Data itulah yang kemudian menjadi salah satu faktor kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 silam.
“Dengan data 600.000 pengguna Facebook, Cambridge Analytica ubah wajah politik dalam pemilu AS 2016. Jangan lupa,” ungkap Damar lewat akun Twitter pribadinya, sebagaimana CNN mengutipnya Selasa (31/8).
Damar menyatakan hal itu menanggapi pernyataan warganet yang seolah menganggap remeh kebocoran data eHAC.
Skandal analisis data pribadi pengguna Facebook buat kepentingan kampanye pilpres AS pada 2016 oleh Cambridge Analytica terungkap pada Maret 2018. Hal itu terkuak dalam laporan surat kabar The New York Times dan The Observer.
Mereka menggunakan data itu salah satunya buat melakukan menjelekkan dan memojokkan pesaing Trump saat itu.
Cambridge Analytica memperoleh data itu dari peneliti lain yang akan menggunakan data pengguna Facebook buat tujuan akademis. Berbekal data itu, Cambridge Analytica merancang kampanye buat Donald Trump di ranah media sosial.
Para peneliti Cambridge Analytica menggunakan data perilaku pengguna Facebook buat memetakan konten dan mendorong masyarakat buat memilih Trump. Akibat skandal itu, pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, diperiksa oleh Senat AS terkait dengan komitmen mereka buat menjaga kerahasiaan data pengguna.
Infrastruktur Sekitar eHAC Terekspos
Sebelumnya para peneliti siber vpnMentor mengungkap laporan dugaan kebocoran data aplikasi eHAC. Dugaan kebocoran data itu meliputi kumpulan data penduduk dalam negeri, warga asing hingga pejabat.
Tim peneliti vpnMentor, Noam Rotem dan Ran Locar, mengatakan eHAC tidak memiliki privasi dan protokol keamanan data yang mumpuni. Sehingga mengakibatkan data pribadi lebih dari satu juta pengguna terekspos.
Para peneliti juga menemukan semua infrastruktur di sekitar eHAC terekspos, termasuk informasi pribadi tentang sejumlah rumah sakit di Indonesia. Termasuk pejabat pemerintah yang menggunakan aplikasi tersebut.
Atas temuan itu, para peneliti vpnMentor dua kali menghubungi Kemenkes untuk memberitahu adanya dugaan kebocoran 1,3 juta data di aplikasi eHAC. Namun, Kemenkes tak kunjung merespon. Hingga akhirnya vpnMentor menghubungi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Tim peneliti vpnMentor menyatakan mereka menghubungi BSSN pada 22 Agustus lalu, dan BSSN membalasnya di hari yang sama. Dua hari kemudian, pada 24 Agustus, peladen itu sudah nonaktif. (KS04)
BACA JUGA BERITA LAIN:
10 Tips Turunkan Kolesterol dalam Tubuh