Beranda Batam Batam Usia 196: Jalan Lebar Saja Tidak Cukup

Batam Usia 196: Jalan Lebar Saja Tidak Cukup

Wali Kota Batam, Amsakar Achmad (menunjuk) didampingi Wakil Wali Kota, Li Claudia Chandra), pada Kamis (18/12/2025) bersempena peringatan Hari Jadi ke-196 Kota Batam. di Engku Putri, Batam Centre.

KEPRISATU.COM – Deru pesawat tempur memecah langit Dataran Engku Putri, Kota Batam siang itu. Di tengah decak kagum warga yang menatap ke atas, Wali Kota Batam Amsakar Achmad justru mengajak semua orang menunduk sejenak: melihat kembali seperti apa wajah kota yang mereka pijak saat ini.

Selama bertahun-tahun, Batam identik dengan jalan lebar, flyover baru, dan deretan gedung yang makin menjulang. Setiap perayaan hari jadi kota, hampir selalu diiringi peresmian proyek fisik. Namun pada Hari Jadi Batam ke-196 tahun ini, Amsakar memilih kalimat pembuka yang berbeda. Ia tidak memamerkan panjang jalan yang sudah dibangun, tetapi mempertanyakan seberapa cepat warga mendapat layanan, seberapa mudah investor mengurus izin, dan seberapa siap anak muda Batam bersaing di industri teknologi.

Di hadapan barisan pelajar, ASN, prajurit, dan undangan yang memenuhi lapangan, Amsakar menyampaikan satu pesan kunci: jalan lebar saja tidak cukup. Kota, menurutnya, bukan sekadar beton, aspal, dan lampu jalan. Kota hidup dari cara pemerintah melayani, dari secepat apa sebuah izin diproses, hingga dari seberapa transparan keputusan diambil. Di titik itulah, Hari Jadi ke-196 Kota Batam, pada Kamis (18/12/2025) berubah dari seremoni rutin menjadi momen koreksi.

Batam selama ini sering dipuji karena pertumbuhan ekonominya yang di atas rata-rata nasional. Angka pertumbuhan di atas enam persen menjadi kebanggaan yang kerap diulang dalam berbagai pidato. Namun Amsakar mengingatkan, angka di kertas tidak selalu sama dengan rasa di lapangan. Bagi warga, yang terasa adalah apakah antrean di loket makin pendek, apakah pengurusan dokumen bisa selesai dalam hitungan hari, dan apakah keluhan direspons tanpa mereka harus “mengurus” lewat jalur belakang.

Dari panggung upacara, Amsakar merumuskan ulang makna ”unggul” bagi Batam. Unggul bukan lagi diukur dari berapa kilometer jalan dibeton, tetapi dari tiga ukuran yang ia sebut satu per satu: kecepatan perizinan, keterbukaan birokrasi, dan kualitas sumber daya manusia. Ia menekankan bahwa generasi muda Batam tidak boleh berhenti di sektor lama yang mengandalkan upah murah dan tenaga kerja melimpah. Mereka harus berani naik kelas ke industri berbasis teknologi, dari pengembang aplikasi hingga layanan digital bagi perusahaan global.

Di ruang-ruang birokrasi, perubahan ini berarti pekerjaan rumah yang tidak ringan. Digitalisasi layanan publik, yang selama ini sering hanya menjadi slogan, dipaksa naik kelas menjadi kebutuhan. Mal Pelayanan Publik yang mulai beroperasi ia dorong menjadi wajah baru pemerintah kota: satu pintu, serba digital, dan minim tatap muka yang membuka peluang pungutan liar. Bagi banyak warga, perubahan ini bisa menjadi momen pertama mereka berurusan dengan pemerintah tanpa membawa map tebal dan fotokopi berlapis.

Namun Amsakar juga sadar, meninggalkan citra “kota pembangunan” bukan perkara sehari semalam. Bagi sebagian orang, pembangunan masih identik dengan suara alat berat dan proyek fisik yang kasat mata. Karena itu, ia menegaskan, alat berat tidak akan berhenti bekerja. Jalan tetap diperlebar, drainase tetap dibenahi, dan kawasan-kawasan baru tetap dibuka. Bedanya, setiap proyek fisik kini harus menjawab satu pertanyaan: seberapa jauh ia mempermudah hidup warga.

Di sisi lain panggung, Wakil Wali Kota Li Claudia Chandra berdiri menyimak. Duet kepemimpinan baru ini memikul ekspektasi besar setelah dilantik untuk periode 2025–2030. Keduanya datang dari latar belakang yang berbeda, tetapi bertemu dalam satu kata kunci: pelayanan. Jika Amsakar banyak bicara soal arah kebijakan, Li kerap menyorot detail pelaksanaan di lapangan, terutama layanan yang bersentuhan langsung dengan kelompok rentan seperti ibu, anak, dan pekerja sektor informal.

Suasana peringatan Hari Jadi Batam tahun ini merangkum kontras yang menarik. Di langit, pesawat tempur meliuk dalam formasi, mengingatkan posisi Batam sebagai kawasan strategis di jalur pelayaran internasional. Di darat, parade budaya menampilkan ragam suku dan tradisi yang selama puluhan tahun menjadikan Batam rumah bagi pendatang dari berbagai daerah. Di tengah-tengahnya, pemerintah kota mencoba merangkai cerita baru: Batam bukan hanya kota transit, tetapi juga kota yang nyaman untuk tinggal, bekerja, dan membangun masa depan.

Di sela rangkaian acara, Amsakar kembali mengulang satu kalimat yang terdengar sederhana, tetapi mengandung pekerjaan besar: pemerintah harus melayani, bukan mempersulit. Kalimat itu mengundang tepuk tangan, tetapi nasibnya akan ditentukan jauh setelah panggung dibongkar dan spanduk perayaan diturunkan. Di kantor-kantor layanan, di ruang rapat pengambil kebijakan, dan di layar gawai warga yang berharap bisa mengurus dokumen tanpa datang berkali-kali.

Hari Jadi ke-196 mungkin tidak meninggalkan prasasti batu atau tugu baru di sudut kota. Namun, jika janji yang diucapkan di Dataran Engku Putri benar-benar dijalankan, perayaan tahun ini bisa tercatat sebagai tonggak yang lebih halus tetapi lebih menentukan: saat Batam mulai berani memindahkan kebanggaan dari lebar jalan ke mutu pelayanan, dari beton ke manusia. (arham)