Keprisatu.com – Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menuturkan, perbedaan
tersebut terjadi lantaran pemerintah hanya berpegang pada kasus yang
memang sudah keluar hasil tesnya. Sementara itu, faktanya, hampir semua
pemakaman kini dilakukan dengan protokol Covid-19.
“Jadi, akan selalu ada gap antara yang terlaporkan dan yang tidak,”
ungkapnya.
Jika mengacu pada kajian permodelan yang dibuatnya bersama tim FKM UI,
Pandu menjelaskan, ada faktor koreksi dari angka kematian akibat korona
dan angka 4,25. Sederhananya, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal
sebenarnya 4,25 kali lebih besar daripada yang dirilis pemerintah.
Dia menjelaskan, angka tersebut diperoleh dari penghitungan berbasis
basic reproduksi rate (Ro) Covid-19 yang dikombinasikan dengan
pertumbuhan eksponensial virus tersebut. Yakni, diperkirakan setiap
kasus akan menginfeksi 2–3 orang lainnya. Lalu ditambah dengan sejumlah
variabel pendukung lain seperti angka pemakaman dengan protap Covid-19
di DKI Jakarta pada Maret 2020 yang juga terjadi di sejumlah daerah.
Kemudian, asumsi disease onset yang terjadi sejak Januari 2020. Bukan
ketika kasus pertama dilaporkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan
penerbangan dari Wuhan, Tiongkok, yang masih dibuka kala itu ke
sejumlah daerah di Indonesia. Misalnya, Bali dan Manado. Yang
sayangnya, saat itu sistem tes masih sulit dipercaya. Banyak hasil
negatif. “Lalu kami hitung secara nasional, polanya (faktor koreksi) 4
sampai 5. Kami hitung rata-rata 4,25,” jelas Pandu. Artinya, potensi
kasus kematian saat ini bisa jadi empat kali lipat daripada yang
dilaporkan.
Dia mengungkapkan, metode yang digunakan timnya sama dengan metode tim
ITB. Hanya, yang membedakan adalah asumsi-asumsi yang digunakan.
Dia melanjutkan, estimasi angka kematian empat kali lipat diperoleh
dari koreksi terhadap setiap laporan pemerintah. Soal angka kematian,
misalnya. Pandu mencontohkan, ketika pemerintah melaporkan 20 orang
meninggal karena Covid-19, yang terjadi di lapangan, justru 50 orang
dikubur dengan protap Covid-19.
“Jadi, kami lakukan koreksi-koreksi apa yang dilakukan pemerintah.
Karena kami menganggap yang dilakukan pemerintah underestimate atau
underreported,” tegasnya.
Demikian pula untuk kasus infeksi. Angka yang dilaporkan jauh lebih
rendah daripada jumlah yang diperkirakan di lapangan. “Kami estimasi
underestimate-nya 20–30 persen. Jadi, yang dilaporkan hanya 30 persen
dari yang sesungguhnya,” sambungnya.
Lagi-lagi, itu terjadi lantaran hasil tes PCR untuk Covid-19 di
Indonesia kerap terlambat. Hasil tes baru bisa keluar lima hari setelah
spesimen diserahkan. Ditengarai, salah satu penyebabnya adalah adanya
antrean panjang. “Jadi, gak hari ini dites, hari ini keluar. Harusnya
sehari selesai kalau tidak pakai antrean. Ini yang harus diperbaiki,”
paparnya. Menurut dia, ketika semua dites, underestimate-nya juga lebih
kecil.
Lalu, bagaimana jika data tersebut terus berbeda? Pandu menegaskan, hal
itu tentu akan berkaitan dengan kebijakan atau pengambilan keputusan
mengenai penanganan Covid-19. Sebab, angka kematian merupakan salah
satu indikator penting. Saat ingin mengurangi restriksi PSBB, misalnya,
angka kematian juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan.
“Kan banyak indikator yang dipakai. Apakah kasus baru benar-benar
turun, apakah jumlah yang sakit menurun, dan apakah yang meninggal
karena Covid turun. Harusnya kan ketiganya konsisten turun. Jadi, kita
harus punya indikator itu,” jelasnya.
Karena itu, dia merekomendasikan agar orang yang meninggal dengan
gejala Covid-19 bisa langsung tercatat sebagai korban positif. “Tapi,
kalau pemeriksaan kita terbatas, akan banyak sekali yang tidak
teridentifikasi walaupun orangnya punya gejala. Orang meninggal saat
pandemi sangat mungkin Covid-19,” tegasnya. (*)
Sumber: jawapos.com