
Keprisatu.com– Rabu siang (26/11/2025), di sebuah ruang kelas yang riuh oleh 40 pasang mata dan semangat remaja, seorang guru muda merapikan buku, menutup laptop, dan menarik napas kecil yang terasa seperti jeda sebelum sebuah langkah besar. Annisa Aginta S.Pd, sambil tersenyum sederhana yang selalu menjadi ciri khasnya, menengok jam digital di gadget pukul 13.00 WIB. Waktu untuk berpamitan sejenak.
Ia berjalan menuju ruang PJs Kepala Sekolah SMPN 28 Batam, Hartati, untuk meminta izin menghadiri undangan wawancara dan penerimaan piagam penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Batam. Ada sedikit debar di dadanya, bukan karena undangan itu, tapi karena kisah yang akan ia bagikan kepada para wartawan adalah kisah perjalanan yang mengubah cara ia memandang dunia pendidikan.
Di kantor PWI Batam, Annisa disambut hangat oleh Ketua PWI Batam M.A. Khafi Anshary, Bendahara Romi Chandra, Ketua Seksi Pendidikan Kamal, pengurus SIWO PWI Pusat Deni Risman, dan Sekretaris IKWI Kepri Baiq T.A. Hudayani. Mereka sedang berbincang dengan Thanayah Anastashya Az’Zikri, siswi MI I Batam peraih medali perak Olimpiade Madrasah Indonesia Tingkat Nasional.
“Undangan ini bukan sekadar seremoni,” ujar Khafi. “Kami ingin mendengar cerita di balik prestasi guru maupun murid agar bisa menginspirasi yang lain.”
Annisa tersenyum. Ia tahu, di balik perjalanan ke Yunnan beberapa waktu lalu, ada lebih banyak dari sekadar materi seminar atau paspor yang dicap imigrasi. Ada proses bertahun-tahun yang perlahan mengasah kesiapannya.
Khafi mempersilakannya memulai: “Ceritakan dari awal, Bu Guru. Dari bagaimana koper itu Anda siapkan, hingga gagasan apa yang Anda bawa pulang dari Tiongkok.”
Annisa pun membuka kisahnya. Pada 13 Oktober 2025, ia tiba di Kunming, sebagai satu-satunya guru dari Batam yang terpilih mengikuti Seminar on School Principals / Teachers for ASEAN Countries. Program prestisius ini diselenggarakan oleh Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri (KTLN) dan pemerintah Tiongkok melalui Yunnan Normal University.
Hanya 11 peserta dari Indonesia yang lolos, berdampingan dengan pendidik Laos, Myanmar, dan Thailand. Untuk bisa sampai di sana, Annisa harus menempuh seleksi yang penuh tantangan, termasuk meyakinkan sponsor untuk memberikan pendanaan penuh.
“Alhamdulillah, tiket dari Jakarta–Tiongkok disediakan Kementerian Perdagangan Republik Tiongkok. Tiket Batam–Jakarta PP saya beli sendiri. Tidak apa-apa demi kesempatan besar,” katanya sambil tersenyum kecil.
Dari 14 hingga 27 Oktober 2025, Annisa belajar, mengamati, dan menyerap cara pandang baru. Di Yunnan Normal University, ia mendalami manajemen sekolah, melihatbdari dekat kualitas pembelajaran, hingga berbagai model inovasi pelatihan guru.
Namun, justru budaya yang merajut pengalaman itu menjadi utuh. Tai Chi di pagi hari, upacara minum teh yang mengajarkan keteduhan, seni menggunting kertas yang menguji kesabaran, semuanya menyentuh satu titik kesadaran bahwa kecerdasan tidak hanya diasah dengan buku dan angka, tapi juga dengan laku hidup dan ketertiban hati.
Kunjungan ke sekolah dasar dan menengah di Yunnan membawanya pada pemahaman baru bahwa pendidikan yang kuat adalah pendidikan yang menanamkan adab dan disiplin sejak dini. Sementara di Jinan, Shandong, ia menyaksikan bagaimana teknologi informasi dipadukan dengan seluruh aspek kampus, dari ruang kelas cerdas hingga integrasi industri dan pendidikan.
“Di sekolah-sekolah Tiongkok, adab murid itu nyata, tertanam. Selain ilmu pengetahuan, mereka fokus pada kebiasaan baik dan olahraga,” ujar Annisa, yang sebelumnya pernah menerima LPDP Microcredential Numeracy Monash University 2024.
Dalam forum pendidikan Tiongkok–ASEAN, Annisa ikut berbagi praktik baik tentang pembelajaran abad ke-21. Di sana, ia membaca dengan jelas bahwa seorang guru adalah jembatan bagi masa depan sebuah bangsa.
“Melihat bagaimana mereka membangun pendidikan berbasis riset membuat saya yakin kita bisa berubah. Asal mau belajar, berbenah, dan tidak berhenti mencoba,” ujarnya.
Sekalung Budi untuk Dua Kepala Sekolah
Ketika kisah itu berakhir, di depan pintu sebelum berpamitan, suara Annisa mulai bergetar saat ia menyebut dua sosok yang baginya amat berarti.
“Saya sangat berterima kasih kepada Bu Kristi (Boedi Kristijorini) dan Bu Hartati,” ujarnya lirih.
Sejak pendaftaran hingga seleksi, Kristi tak pernah berhenti mendorongnya. Namun ketika izin keberangkatan hampir terganjal, Kristi turun tangan, menghubungi pihak dinas agar Annisa bisa berangkat.
“Saya ingat betul, Bu Kristi yang menjelaskan agar saya diberi izin,” katanya, menahan haru.
Tapi takdir berkata lain. Kristi tidak lagi menjabat sebagai kepala sekolah saat hari keberangkatan tiba. Ia tersandung polemik perpisahan siswa di hotel berbintang, sebuah kontroversi yang bergulir dan menenggelamkannya.
Meski berbagai bantahan telah disampaikan, kabar yang terlanjur viral memaksa Kristi mundur dari panggung kepemimpinan sekolah. Namun bagi Annisa, dukungan sang mantan kepala sekolah itu tetap terpatri, menjadi bagian dari kisah perjalanannya menuju Yunnan.
Dari dua pemimpin perempuan itulah Annisa belajar bahwa pendidikan tidak hanya hidup di ruang kelas. Ia hidup dalam dorongan, dalam teladan, dan dalam keberanian membiarkan guru muda melangkah lebih jauh dari bayangannya.
Kini, Annisa kembali ke mengajar dengan langkah yang lebih tenang, tapi lebih tegak. Ia tak membawa oleh-oleh atau barang mewah dari Tiongkok, hanya ide, keberanian, mimpi yang tumbuh sedikit lebih besar, dan sebuah diary bersampul merah dan pena untuk PWI Batam.
Karena bagi seorang guru, perjalanan tidak berhenti di piagam penghargaan.
Ia berlanjut setiap hari, setiap jam.
Dan bagi Annisa, perjalanan itu baru saja dimulai. (tjo)
Editor : Teguh Joko Lismanto



